Salah satu problem yang saya hadapi ketika masih mengajar di kelas 7 sekolah menengah pertama adalah bagaimana mendorong para siswa untuk lebih mendayagunakan high order thinking (pola berpikir tingkat tinggi), di mana mereka benar-benar berpikir dan bukan hanya menghafal atau sekedar tahu informasi (level knowledge dalam taksonomi Bloom). Berdasarkan beberapa referensi, terutama yang ditulis Dr. Edward De Bono, maka saya menggunakan salah satu teknik beliau yang terkenal, yaitu Enam Topi Berpikir (The Six Thinking Hats).
Secara prinsip, teknik ini mendorong siswa untuk berpikir sesuai dengan topi yang dipakai, di mana saya menyediakan enam topi yang berbeda warna yaitu Putih, Kuning, Hitam, Merah, Hijau dan Biru. Saat bertopi putih, siswa diminta mendiskusikan atau mencari informasi dan fakta mengenai topik tersebut. Dengan topi kuning, siswa berpikir dan mendiskusikan apa dampak positif suatu fenomena. Dengan topi hitam, siswa berpikir dan mendiskusikan apa dampak negatif suatu fenomena. Dengan topi merah, siswa mengekspresikan perasaannya terhadap fenomena tersebut. Topi hijau menggerakkan siswa untuk kreatif dan mencari alternatif dalam melihat suatu fenomena. Sedangkan topi biru mendorong siswa membuat suatu kesimpulan. Keenam topi tersebut membuat siswa lebih aktif karena topi mereka menginstruksikan benak para siswa untuk "berperilaku" sesuai wadahnya.
Sebagai contoh, saya menggunakan teknik ini saat membahas tentang tsunami. Saya membagi kelas saya menjadi lima kelompok. Saya juga membuat simbol enam topi di kelas yang saya letakkan secara berkeliling. Pada dasarnya, mereka secara kelompok beraktivitas di kelima simbol topi secara bergantian searah jarum jam per sesinya. Di setiap sesi masing-masing akan melakukan kegiatan sesuai instruksi topinya. Sekuens atau urutan topi tidak harus "urut kacang", tetapi semua topi harus dilewati.
Topi keenam adalah kegiatan whole class, momen di mana seluruh kelompok melakukan refleksi bersama-sama. Peran saya adalah sebagai fasilitator atau konsultan, tempat setiap siswa bertanya bila mereka menemui jalan buntu dalam berkegiatan. Saya tidak memberi jawaban matang, tetapi mengarahkan mereka pada alternatif lain agar proses mandiri tetap berjalan.
Pada sesi pertama, saya secara singkat memberikan gambaran apa Enam Topi Berpikir itu dan memberi instruksi aktivitas keenam kelompok selama enam sesi. Untuk topi putih, saya menyiagakan ruang perpustakaan dan internet di sekolah agar siswa bisa mencari informasi secara mandiri. Keempat topi lainnya dilakukan di dalam kelas. Untuk topi hijau, saya mengisntruksikan siswa merancang maket rumah yang menurut mereka tahan hempasan tsunami atau gempa bumi dengan bahan korek api dan sendok es krim serta bahan tambahan mereka sendiri. Aktivitas ini harus selesai dalam satu sesi (kira-kira 40 menit).
Ketika kegiatan belajar dimulai mulai dari sesi pertama, saya melihat antusiasme yang besar dari para siswa. Mereka tampaknya lebih termotivasi karena tidak cuma duduk dan mendengar di kelas saja. Sebaliknya, mereka harus beradaptasi dan konsisten untuk berpola pikir sesuai topi, yang ternyata tidak mudah. Contohnya, ketika sampai di topi kuning, mereka awalnya kesulitan menemukan dampak positif dari tsunami karena setahu mereka akibat tsunami sangat buruk bagi masyarakat korban. Namun setelah berkonsultasi pada saya sebagai fasilitator, mereka akhirnya girang karena bisa menemukan bahwa bencana tsunami memberikan pelajaran pentingnya memiliki dan menguasai teknologi untuk mengantisipasi bencana alam.
Ketika sampai di topi hijau pun saya melihat gairah yang sama. Para siswa antusias mendiskusikan dan mencoba-coba membuat maket rumah anti tsunami dan gempa bumi. Saya memberi batas waktu untuk pembuatannya sehingga mereka mau tidak mau terpaksa untuk kreatif dan bekerja secara efisien (tidak banyak omong dan bercanda seperti kebiasaan mereka keseharian). Di beberapa topi yang memerlukan konsentrasi penuh misalnya topi putih, kuning dan hitam, saya memasukkan juga unsur musik sebagai pengiring. Saya memilih konser pasif (Adi Gunawan, 2003) dengan iringan musik Barok untuk memberikan atmosfir pendukung agar para siswa lebih fokus berpikir dan berdiskusi. Hasil diskusi mereka ditulis di kertas CD besar dengan spidol berwarna dan ditempelkan di sekeliling dinding kelas agar semua orang di kelas bisa melihat.
Setelah kelima topi selesai dijalani, pada sesi keenam saya melakukan kegiatan topi biru. Saya meminta kelima kelompok untuk berkeliling dan membandingkan hasil penemuan dan pemikiran mereka serta menambahkan apa-apa saja yang tidak mereka temukan atau tidak terpikirkan oleh mereka namun dimiliki kelompok lain. Dengan cara ini, secara tidak sadar sebenarnya para siswa melakukan peer learning, sehingga masing-masing individu siswa mendapatkan content atau isi materi yang dibutuhkan. Setelah selesai, maka masing-masing melakukan semacam refleksi atas apa yang telah dilakukan. Selain memaparkan hasil kegiatan kelima topi, mereka juga mengekspresikan kendala-kendala apa yang mereka alami selama proses serta cara mereka menghadapinya.
Secara umum saya bisa menyimpulkan bahwa dengan mempergunakan kerangka Enam Topi Berpikir, para siswa mendapatkan pengalaman belajar lebih. "Lebih" karena pada dasarnya content atau materi sesuai kurikulum relatif didapatkan siswa mendekati "yang seharusnya". Ini memberi jawaban pada kritik rekan-rekan guru saya yang mengatakan bahwa kegiatan belajar selain klasik/ceramah tidak akan memberi siswa content yang seharusnya dikuasai siswa guna menghadapi UNAS kelak. Selain mendapatkan materi UNAS, para siswa mendapatkan pengalaman untuk berpikir lebih dalam terhadap sesuatu dan juga memiliki life skill untuk mencari tahu atas apa yang ia ingin tahu secara mandiri (learn how to learn). Selain itu, yang saya lihat, sebagian besar siswa cenderung termotivasi, aktif, dan tidak punya waktu untuk bermain-main tanpa alasan yang jelas.
Yang menjadi kendala adalah kegiatan belajar dengan model constructivist seperti Enam Topi Berpikir ini membutuhkan waktu dalam persiapannya. Guru harus mempersiapkan kerangka kegiatan dengan matang, serta memberikan alternatif sumber belajar yang bervariasi. Untuk sekolah dengan akses internet terbatas dan perpustakaan kurang memadai, mungkin ini menjadi kendala. Namun, yang penting menurut pengalaman saya adalah kreatifitas dan keinginan untuk memberi yang terbaik pada anak didik. Karena merekalah generasi penerus kita di masa depan yang akan menentukan masa depan negeri ini. Kalau generasi kita tidak terbiasa berpikir kritis dan mandiri, saya tidak bisa membayangkan seperti apa negeri ini di masa depan. Jadi, kenapa takut mencoba?
hello
BalasHapussaya mau tanya teknik seperti begini cocok di terapkan pada kelas berapa ?
terimakasih :)