A. Mengapa Menggunakan ICT ?
Proses belajar mengajar (PBM) seringkali dihadapkan pada materi yang abstrak dan di luar pengalaman siswa sehari-hari, sehingga materi ini menjadi sulit diajarkan guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Gambar dua dimensi atau model tiga dimensi adalah visualisasi yang sering dilakukan dalam PBM. Pada era informatika visualisasi berkembang dalam bentuk gambar bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan suara (audio). Sajian audio visual atau lebih dikenal dengan sebutan multimedia menjadikan visualisasi lebih menarik. ICT dalam hal ini komputer dengan dukungan multimedia dapat menyajikan sebuah tampilan berupa teks nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat pengguna (user) lebih leluasa memilih, mensintesa, dan mengelaborasi pengetahuan yang ingin dipahaminya. Walhasil komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran, karena komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi, seperti yang diinginkan. Iklim afektif ini akan melibatkan penggambaran ulang berbagai objek yang ada dalam pikiran siswa. Dan iklim inilah yang membuat tingkat retensi siswa pengguna komputer multimedia lebih tinggi daripada bukan pengguna.
B. Bagaimana Karakteristik Materi Berbasis ICT ?
Sebuah pepatah menyebutkan I hear I forget, I see I Know, I do I Understand. Penelitian De Porter mengungkapkan manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dikerjakan, 50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio visual), sedangkan dari yang dilihatnya hanya 30%, dari yang didengarnya hanya 20%, dan dari yang dibaca hanya 10%. Berdasarkan ini semua, maka kegiatan hands on dalam PBM harus tetap diutamakan.
Kadang kala PBM dihadapkan pada materi yang tidak dapat dilakukan secara hands on. Misalnya suatu percobaan membutuhkan waktu lama, sedangkan waktu PBM terbatas atau benda sebenarnya sulit untuk diperlihatkan dan dieksplorasi oleh siswa. Pada saat seperti inilah diperlukan alat bantu pengajaran, salah satunya adalah pembelajaran berbasis ICT (komputer multimedia). Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan, jika ingin menggunakan komputer multimedia dalam PBM adalah mengkaji karakteristik materi. Walaupun kegiatan yang bersifat hands on dapat digantikan dengan multimedia, tetapi hal ini tidak disarankan untuk digunakan. Sebaiknya multimedia digunakan hanya untuk pembelajaran yang tidak memungkinkan dilakukan secara hands on. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan materi yang akan disajikan ke dalam bentuk wacana multimedia.
C. Bagaimana Cara Mengolah Materi yang Disajikan dengan Berbasis ICT ?
Pengolahan materi yang akan disajikan dalam bentuk multimedia dapat mengikuti tahapan pengolahan materi subyek. Tahapan tersebut adalah seleksi I, strukturisasi, seleksi II, dan reduksi .
Tahap 1. Seleksi buku
Memilih sebuah buku yang akan menjadi acuan dengan pertimbangan isi materi, tingkat kesulitan, metodologi instruksional, dan integritas keilmuan penulis.
Tahap 2. Strukturisasi
Sturkturisasi diawali dengan membuat proposisi dari teks dasar.
Setelah menentukan proposisi utama, makro, dan mikro, langkah selanjutnya adalah mengalihkannya ke bentuk outline, sehingga didapatkan sebuah model representasi teks.
Tahap 3. Seleksi materi yang sesuai kebutuhan siswa
Tidak semua materi yang ada pada topik/materi diperlukan oleh siswa. Oleh karena itu dibutuhkan pemilihan kembali terhadap materi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Tahap 4. Reduksi
Reduksi pada materi yang akan diajarkan dilakukan dengan cara penyederhanakan bahasa, visualisasi, dan penggunaan teknik historis dalam pemaparannya.
Penyederhanaan bahasa dilakukan dengan mengabaikan hal-hal kurang relevan dengan kebutuhan siswa. Visualisasi dilakukan dengan memberikan gambar dari suatu proses yang terjadi. Akan lebih mudah dipahami jika disajikan dalam bentuk gambar (visual).
D. Bagaimana Cara Menyajikan Wacana Berbasis ICT?
Aneka program komputer (software) dapat digunakan untuk membuat wacana multimedia. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan software selain kemampuan atau penguasaan terhadap software, adalah spesifikasi perangkat keras (hardware) yang tersedia di sekolah. Pertimbangan spesifikasi hardware ini sangat penting, karena hanya dengan spesifikasi hardware yang mendukung, wacana multimedia yang telah dibuat dapat berjalan dengan baik. Jika ketersediaan hardware di sekolah edisi P166 ke bawah, maka tidak disarankan membuat wacana multimedia menggunakan Macromedia Flash, untuk kondisi hardware seperti itu penggunaan program Microsoft Power Point sudah cukup memadai. Program Microsoft Power Point menampilkan menu-menu yang berguna dalam pembuatan wacana multimedia yang bersifat tutorial. Menu-menu tersebut adalah menu animasi; menu untuk memasukan (import file) suara, video, dan gambar animasi; dan menu tautan (hyperlink) untuk menghubungkan antara satu simpul (node) atau file dengan simpul atau file lainnya. Menu-menu ini menjadikan program Microsoft Power Point tidak hanya berperan sebagai alat presentasi (tools) tetapi dapat dikembangkan menjadi tutor. Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam pembuatan wacana multimedia yang sifatnya tutorial adalah ketersediaan menu-menu yang dapat diakses dan adanya ikon tutorial yang akan membimbing pengguna wacana multimedia (user).
(R. Bambang Aryan Soekisno – Bogor)
Belajar matematika dengan penalaran, penalaran akan terlatih dengan belajar matematika
KEBERSAMAAN
Jumat, 29 April 2011
Selasa, 26 April 2011
Guru Matematika Bertaraf Internasional
Berdasarkan hasil studi banding kami ke Australia tentang Kelas Matematika bertaraf internasional 13 – 21 Desember 2008, dengan mengacu sumber utama tentang standard internasional bagi guru-guru matematika di Australia beserta hasil dari berbagai diskusi dengan nara sumber yang kompeten, maka kami dapat menyimpulkan bahwa Guru Matematika Sekolah Bertaraf Internasional paling tidak harus memenuhi 3 (tiga) macam kriteria profesi yaitu: a) profesional dalam bidang pengetahuan matematika dan pendidikan matematika, b) profesional dalam melaksanakan pembelajaran matematika, dan c) profesional dalam meningkatkan profesi kependidikan matematika. Jabaran dari kriteria di atas adalah sebagai berikut:
A. Profesional Dalam Bidang Pengetahuan Matematika dan Pendidikan Matematika
1. Guru menguasai matematika sekolah
• mempunyai pengetahuan tentang materi, proses atau prosedur serta keterampilan menyelesaikan persoalan matematika
• mengetahui ruang lingkup, jenis dan macam-macam matematika sekolah
• menguasai pendekatan pedagogis untuk mempelajari matematika sekolah
• mengetahui berbagai kompetensi matematika sekolah yang harus dikuasai para siswa
• mengetahui dan dapat mengimplementasikan interaksi antara siswa dan matematika sekolah
• mengetahui dan dapat mengimplementasikan bagaimana mengetahui pencapaian kompetensi matematika sekolah
2. Guru memahami hakekat siswa belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan komunikasi dengan siswa pebelajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan pelayanan terhadap kebutuhan siswa belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan prinsip “education for all” dalam pembelajaran matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai cara untuk mengetahui berbagai macam perbedaan kemampuan siswa belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai cara untuk mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan budaya siswa belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan pengetahuan tentang kemampuan prasyarat dan kegiatan remedial kesulitan belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan kode etik pembelajaran matematika
• mengkomunikasikan persiapan, proses dan hasil belajar matematika kepada pihak-pihak terkait, misal sekolah dan orang tua murid
3. Guru menguasai berbagai metode pembelajaran matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai teori belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai model belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan penelitian kelas pembelajaran matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai model-model pembelajaran matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai metode penilaian berbasis kelas dan mendokumentasikannya untuk berbagai keperluan
B. Profesional Dalam Melaksanakan Pembelajaran Matematika
1. Guru mampu mengembangkan Rencana Pembelajaran
• menggunakan segenap pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya untuk merencanakan pembelajaran matematika baik pada level klasikal, kelompok maupun individual
• mengembangkan rencana pembelajaran (RPP) yang memuat segenap aspek kompetensi, indikator, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, pemanfaatan alat bantu atau media pembelajaran, serta metode penilaian atau assesmen.
• merencanakan struktur pembelajaran, skema interaksi, skema kegiatan siswa dan skema pencapaian kompetensi siswa
• merencanakan kegiatan refleksi belajar matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan silabus pembelajaran matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum pembelajaran matematika
2. Guru mampu menyiapkan lingkungan belajar matematika
• menjamin bahwa dalam belajar matematika, siswa merasa aman, nyaman dan menunjang pencapaian kompetensi matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan pemanfaatan sumber belajar matematika baik dari dalam kelas maupun dari luar kelas
• memfasilitasi kebutuhan siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar matematika baik dalam klasikal, kelompok maupun individual
• mengorganisasi dan mengelola sumber-sumber belajar matematika
• menjamin lingkungan belajar matematika yang sesuai dengan budaya setempat, bersifat etis dan tidak melanggar norma yang ada
• mengembangkan dan mengimplementasikan pembelajaran matematika kontekstual dan realistik
• bekerjasama dengan kolega atau sesama guru, sekolah dan orang tua murid dalam pengembangan sumber-sumber belajar matematika
3. Guru mampu menyiapkan dan menggunakan alat bantu pembelajaran matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan lembar kerja siswa (LKS) baik untuk klasikal, kelompok maupun individu; serta untuk berbagai tujuan pencapaian kompetensi matematika misalnya pemahaman konsep, prosedur, latihan soal atau menemukan konsep atau pola
• mengembangkan dan mengimplementasikan alat peraga (teaching aid) pembelajaran matematika berdasarkan kajian konsep matematika dan berbagai pendekatan untuk memahaminya
• mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi informatika (ICT) misalnya kalkulator, internet, website dan blog
• bekerjasama dengan kolega atau sesama guru, sekolah dan orang tua murid dalam pengembangan alat bantu pembelajaran matematika
C. Profesional Dalam Meningkatkan Profesi Kependidikan Matematika
1. Guru menguasai dasar-dasar kompetensi global kependidikan matematika
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kecenderungan global kependidikan matematika dalam segala aspeknya
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kebutuhan minimal komunikasi global tentang kependidikan matematika (Bahasa Inggris)
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kebutuhan minimal komunikasi global tentang peningkatan profesi kependidikan matematika misal tata cara penulisan karya ilmiah, penelitian, dan akses internasional, simposium dan seminar internasional
2. Guru mampu merefleksikan profesi kependidikan matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan cara-cara mengetahui kompetensi kependidikan matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan peningkatan kompetensi kependidikan matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai cara melakukan kegiatan penelitian kelas pembelajaran matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan cara-cara melakukan inovasi pembelajaran matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
3. Guru aktif sebagai anggota profesi pendidikan matematika
• menyadari dan terlibat dalam berbagai kegiatan profesi kependidikan matematika
• berperan aktif dalam mengembangkan organisasi profesi kependidikan matematika
• memahami dan dapat mengimplementasikan peran, kedudukannya, hak dan kewajiban guru dalam sistem pendidikan baik daerah, propinsi maupun nasional
• memahami dan dapat mengimplementasikan kode etik organisasi profesi kependidikan matematika
• memahami dan dapat memanfaatkan potensi organisasi profesi untuk peningkatan kompetensi kependidikan matematika
Oleh: Marsigit
A. Profesional Dalam Bidang Pengetahuan Matematika dan Pendidikan Matematika
1. Guru menguasai matematika sekolah
• mempunyai pengetahuan tentang materi, proses atau prosedur serta keterampilan menyelesaikan persoalan matematika
• mengetahui ruang lingkup, jenis dan macam-macam matematika sekolah
• menguasai pendekatan pedagogis untuk mempelajari matematika sekolah
• mengetahui berbagai kompetensi matematika sekolah yang harus dikuasai para siswa
• mengetahui dan dapat mengimplementasikan interaksi antara siswa dan matematika sekolah
• mengetahui dan dapat mengimplementasikan bagaimana mengetahui pencapaian kompetensi matematika sekolah
2. Guru memahami hakekat siswa belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan komunikasi dengan siswa pebelajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan pelayanan terhadap kebutuhan siswa belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan prinsip “education for all” dalam pembelajaran matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai cara untuk mengetahui berbagai macam perbedaan kemampuan siswa belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai cara untuk mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan budaya siswa belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan pengetahuan tentang kemampuan prasyarat dan kegiatan remedial kesulitan belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan kode etik pembelajaran matematika
• mengkomunikasikan persiapan, proses dan hasil belajar matematika kepada pihak-pihak terkait, misal sekolah dan orang tua murid
3. Guru menguasai berbagai metode pembelajaran matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai teori belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai model belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan penelitian kelas pembelajaran matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai model-model pembelajaran matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai metode penilaian berbasis kelas dan mendokumentasikannya untuk berbagai keperluan
B. Profesional Dalam Melaksanakan Pembelajaran Matematika
1. Guru mampu mengembangkan Rencana Pembelajaran
• menggunakan segenap pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya untuk merencanakan pembelajaran matematika baik pada level klasikal, kelompok maupun individual
• mengembangkan rencana pembelajaran (RPP) yang memuat segenap aspek kompetensi, indikator, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, pemanfaatan alat bantu atau media pembelajaran, serta metode penilaian atau assesmen.
• merencanakan struktur pembelajaran, skema interaksi, skema kegiatan siswa dan skema pencapaian kompetensi siswa
• merencanakan kegiatan refleksi belajar matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan silabus pembelajaran matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum pembelajaran matematika
2. Guru mampu menyiapkan lingkungan belajar matematika
• menjamin bahwa dalam belajar matematika, siswa merasa aman, nyaman dan menunjang pencapaian kompetensi matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan pemanfaatan sumber belajar matematika baik dari dalam kelas maupun dari luar kelas
• memfasilitasi kebutuhan siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar matematika baik dalam klasikal, kelompok maupun individual
• mengorganisasi dan mengelola sumber-sumber belajar matematika
• menjamin lingkungan belajar matematika yang sesuai dengan budaya setempat, bersifat etis dan tidak melanggar norma yang ada
• mengembangkan dan mengimplementasikan pembelajaran matematika kontekstual dan realistik
• bekerjasama dengan kolega atau sesama guru, sekolah dan orang tua murid dalam pengembangan sumber-sumber belajar matematika
3. Guru mampu menyiapkan dan menggunakan alat bantu pembelajaran matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan lembar kerja siswa (LKS) baik untuk klasikal, kelompok maupun individu; serta untuk berbagai tujuan pencapaian kompetensi matematika misalnya pemahaman konsep, prosedur, latihan soal atau menemukan konsep atau pola
• mengembangkan dan mengimplementasikan alat peraga (teaching aid) pembelajaran matematika berdasarkan kajian konsep matematika dan berbagai pendekatan untuk memahaminya
• mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi informatika (ICT) misalnya kalkulator, internet, website dan blog
• bekerjasama dengan kolega atau sesama guru, sekolah dan orang tua murid dalam pengembangan alat bantu pembelajaran matematika
C. Profesional Dalam Meningkatkan Profesi Kependidikan Matematika
1. Guru menguasai dasar-dasar kompetensi global kependidikan matematika
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kecenderungan global kependidikan matematika dalam segala aspeknya
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kebutuhan minimal komunikasi global tentang kependidikan matematika (Bahasa Inggris)
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kebutuhan minimal komunikasi global tentang peningkatan profesi kependidikan matematika misal tata cara penulisan karya ilmiah, penelitian, dan akses internasional, simposium dan seminar internasional
2. Guru mampu merefleksikan profesi kependidikan matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan cara-cara mengetahui kompetensi kependidikan matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan peningkatan kompetensi kependidikan matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai cara melakukan kegiatan penelitian kelas pembelajaran matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan cara-cara melakukan inovasi pembelajaran matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
3. Guru aktif sebagai anggota profesi pendidikan matematika
• menyadari dan terlibat dalam berbagai kegiatan profesi kependidikan matematika
• berperan aktif dalam mengembangkan organisasi profesi kependidikan matematika
• memahami dan dapat mengimplementasikan peran, kedudukannya, hak dan kewajiban guru dalam sistem pendidikan baik daerah, propinsi maupun nasional
• memahami dan dapat mengimplementasikan kode etik organisasi profesi kependidikan matematika
• memahami dan dapat memanfaatkan potensi organisasi profesi untuk peningkatan kompetensi kependidikan matematika
Oleh: Marsigit
Jumat, 22 April 2011
STANDAR PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Pembelajaran Matematika yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Matematics atau NCTM (2000) menggariskan, bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Ada lima standar proses dalam pembelajaran matematika, yaitu: pertama, belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); kedua, belajar untuk bernalar dan bukti (mathematical reasoning and proof); ketiga, belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); keempat, belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan kelima, belajar untuk mempresentasikan (mathematics representation). Pada tugas yang ke-4 ini akan ditelaah kelima standar proses yang telah disebutkan di atas satu per satu, yaitu sebagai berikut :
1. Pemecahan masalah matematika (mathematical problem solving)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari sesuatu yang namanya masalah, sehingga pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran matematika. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon siswa. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh prosedur rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Apabila kita menerapkan pengetahuan matematika, keterampilan atau pengalaman untuk memecahkan suatu dilemma atau situasi yang baru atau yang membingungkan, maka kita sedang memecahkan masalah. Untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, siswa membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah dalam bidang matematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Aktivitas-aktivitas yang tercakup dalam kegiatan pemecahan masalah, meliputi: mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah situasi sehari-hari dan metematik; menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika; menjelaskan/ menginterpretasikan hasil sesuai masalah asal; menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna. Strategi untuk memecahkan suatu masalah matematika bergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Strategi pemecahan masalah yang bersifat umum, untuk memecahkan suatu masalah ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:
a. Memahami masalah, kegiatan dapat yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data) yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).
b. Merencanakan pemecahannya, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat konjektur).
c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.
d. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.
Dengan demikian inti dari belajar memecahkan masalah, supaya siswa terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya mengandalkan ingatan yang baik saja, tetapi siswa diharapkan dapat mengaitkan dengan situasi nyata yang pernah dialaminya atau yang pernah dipikirkannya. Kemudian siswa bereksplorasi dengan benda kongkrit, lalu siswa akan mempelajari ide-ide matematika secara informal, selanjutnya belajar matematika secara formal.
2. Penalaran dan pembuktian matematika (mathematical reasoning and proof )
Yang dimaksudkan siswa memiliki kemampuan memberi alasan yang masuk akal, belajar untuk bernalar dan pembuktian adalah siswa mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan dengan cara untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat individual disebut penalaran induktif. Tetapi dapat pula sebaliknya, dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual, penalaran seperti itu disebut penalaran deduktif. Penalaran matematis penting untuk mengetahui dan mengerjakan matematika. Kemampuan untuk bernalar menjadikan siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya, di dalam dan di luar sekolah. Kapanpun kita menggunakan penalaran untuk memvalidasi pemikiran kita, maka kita meningkatkan rasa percaya diri dengan matematika dan berpikir secara matematik. Adapun aktivitas yang tercakup di dalam kegiatan penalaran matematik meliputi: menarik kesimpulan logis; menggunakan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan hubungan; untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji konjektur; memberikan lawan contoh (counter example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argument; menyusun argument yang valid; menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi matematik.
Secara rinci pembelajaran ini bertujuan untuk memberdayakan anak sampai pada tingkat:
1.Mengenali dan meyakini bahwa memberikan alasan yang masuk akal (bernalar) dan bentuk pembuktian adalah aspek yang mendasar di dalam belajar matematika.
2.Membuat dan memeriksa kembali perkiraan matematika yang telah diduga sebelumnya.
3.Mengembangkan dan mengevaluasi pernyataan matematika dan pembuktiannya.
4.Memilih dan menggunakan berbagai macam bentuk penalaran dan metode pembuktian.
Bernalar secara sistematis adalah keistimewan yang pasti ada pada matematika. Menyelidiki , mencari kebenaran, dan menggunakan perkiraan matematika pada umumnya semua terdapat pada esensi lingkup matematika, dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda pada semua jenjang. Melalui penggunaan penalaran, siswa-siswa belajar dengan matematika untuk mendapatkan pengertian. Penalaran dan mencari bukti harus konsisten dan terbentuk dari pengalaman matematika siswa terebut sejak usia 12 tahun.
Penalaran secara matematik dijadikan suatu kebiasaan yang muncul dari ide pikirannya, dan kebiasaan-kebiasaan itu harus dikembangkan secara kosisten dalam banyak hal di jenjang kelas awal. Pada semua tingkat para siswa memberi alasan secara induktif dari pola-pola dan kasus-kasus khusus. Sebagai contoh untuk membuktikan secara informal dengan kontradiksi,yaitu membuktikan bahwa 0 adalah bilangan genap adalah : ”Jika 0 bilangan ganjil maka 0 dan 1 akan menjadi dua buah bilangan ganjil dalam sebuah barisan. Tetapi ganjil genap adalah selang-seling. Maka 0 haruslah genap.
Di sekolah dasar anak harus belajar membuat pernyataan deduktif efektif yang baik. Menggunakan kebenaran matematika yang mereka tetapkan di kelas. Pada kelas akhir sekolah menengah para siswa dapat memahami dan meperoleh beberapa bukti matematika, menyimpulkan dari hipotesis-hipotesis secara logis dan deduktif dan bisa menilai isi dari suatu argumen-agumen.
Di jejang kelas sekolah menengah lebih lanjut akan belajar berbagai metode pembuktian, antara lain :
1.Pembuktian langsung.
2.Pembuktian dengan cara kontradiksi.
3.Pembuktian dengan cara kontraposisi.
4.Pembuktian dengan cara induksi matematika.
Dengan pembiasaan bernalar siswa dapat pula memutuskan metode pembuktian apa yang harus digunakan untuk menghadapi permasalahan pembuktian matematika dan mampu berpikir logis dalam mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari.
3. Komunikasi matematis (mathematical communication)
Komunikasi matematika merefleksikan pemahaman matematik dan merupakan bagian dari kekuatan matematika. Siswa-siswa mempelajari matematika seakan-akan mereka berbicara dan menulis tentang apa yang mereka sedang kerjakan. Mereka dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, ketika mereka diminta untuk memikirkan ide-ide mereka, atau berbicara dengan dan mendengarkan siswa lain, dalam berbagi ide, strategi dan solusi. Menulis mengenai matematika mendorong siswa untuk merefleksikan pekerjaan mereka dan mengklarifikasi ide-ide untuk mereka sendiri. Membaca apa yang siswa tulis adalah cara yang istimewa untuk para guru dalam mengidentifikasi pengertian dan miskonsepsi dari siswa.
Indikator komunikasi matematis menurut NCTM (1989), dapat dilihat dari:
1.Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;
2.Kemampuan memahami, mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya;
3.Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyejikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.
Komunikasi matematis meliputi kemampuan siswa:
1.menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika;
2.menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar;
3.menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbul matematika;
4.mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
5.membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis;
6.membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi;
7.menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
4. Koneksi matematika (mathematical connections)
Koneksi matematis merupakan pengaitan matematika dengan pelajaran lain, atau dengan topik lain. Koneksi matematik (Mathematical Connections) merupakan kegiatan yang meliputi:
1. mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur;
2. memahami hubungan antar topik matematik;
3.menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari;
4. memahami representasi ekuivalen konsep yang sama;
5. mencari koneksi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen;
6. menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.
Pembelajaran matematika kini telah berpindah dari pandangan mekanistik kepada pemecahan masalah, meningkatkan pemahaman, dan kemampuan berkomunikasi secara matematika dengan orang lain. Jika pada pengajaran matematika di masa lalu siswa diharapkan bekerja secara mandiri dan dapat menguasai algoritma matematika melalui latihan secara intensif. Selanjutnya kurikulum yang sekarang, matematika didesain dan dikembangkan untuk mengembangkan daya matematis siswa, melalui inovasi dan implementasi berbagai pendekatan dan metode. Hal tersebut digunakan untuk membangun kepercayaan diri atas kemampuan matematika mereka melalui proses
(1) Memecahkan masalah;
(2) Memberikanalasan induktif maupun deduktif untuk membuat,
mempertahankan, dan mengevaluasi argumen secara matematis;
(3) Berkomunikasi, menyampaikan ide/gagasan secara matematis;
(4) Mengapresiasi matematika karena keterkaitannyadengan
ilmu lain, aplikasinya pada dunia nyata.
5. Menyajikan matematika (mathematics representation)
Kemampuan manyajikan matematika (mathematics representation) merupakan standar proses yang kelima yang harus dimiliki peserta didik setelah memiliki kemampuan standar proses sebelumnya sebagai penyempurna tujuan pembelajaran matematika. Adapun kemampan menyajikan matematika meliputi antara lain :
1.Menciptakan dan menggunakan representasi untuk menyusun, merekam, dan mengokumikasikan ide matematika.
2.Dapat memilih, menggunakan dan menterjemahkan setiap representasi matematika untuk memecahkan masalah.
3.Menggunakan model penyajian dan menginterpretasikan secara fisik, sosial, dan phenomena matematika.
Penyajiannya tergantung pada pemahaman siswa terhadap konsep matematika dan keterhubungannya. Penyajian yang diikuti siswa untuk mengkomunikasikan pendekatan matematika, argumen, dan pemahaman diri mereka dan yang lain.
Ada lima standar proses dalam pembelajaran matematika, yaitu: pertama, belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); kedua, belajar untuk bernalar dan bukti (mathematical reasoning and proof); ketiga, belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); keempat, belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan kelima, belajar untuk mempresentasikan (mathematics representation). Pada tugas yang ke-4 ini akan ditelaah kelima standar proses yang telah disebutkan di atas satu per satu, yaitu sebagai berikut :
1. Pemecahan masalah matematika (mathematical problem solving)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari sesuatu yang namanya masalah, sehingga pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran matematika. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon siswa. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh prosedur rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Apabila kita menerapkan pengetahuan matematika, keterampilan atau pengalaman untuk memecahkan suatu dilemma atau situasi yang baru atau yang membingungkan, maka kita sedang memecahkan masalah. Untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, siswa membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah dalam bidang matematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Aktivitas-aktivitas yang tercakup dalam kegiatan pemecahan masalah, meliputi: mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah situasi sehari-hari dan metematik; menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika; menjelaskan/ menginterpretasikan hasil sesuai masalah asal; menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna. Strategi untuk memecahkan suatu masalah matematika bergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Strategi pemecahan masalah yang bersifat umum, untuk memecahkan suatu masalah ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:
a. Memahami masalah, kegiatan dapat yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data) yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).
b. Merencanakan pemecahannya, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat konjektur).
c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.
d. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.
Dengan demikian inti dari belajar memecahkan masalah, supaya siswa terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya mengandalkan ingatan yang baik saja, tetapi siswa diharapkan dapat mengaitkan dengan situasi nyata yang pernah dialaminya atau yang pernah dipikirkannya. Kemudian siswa bereksplorasi dengan benda kongkrit, lalu siswa akan mempelajari ide-ide matematika secara informal, selanjutnya belajar matematika secara formal.
2. Penalaran dan pembuktian matematika (mathematical reasoning and proof )
Yang dimaksudkan siswa memiliki kemampuan memberi alasan yang masuk akal, belajar untuk bernalar dan pembuktian adalah siswa mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan dengan cara untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat individual disebut penalaran induktif. Tetapi dapat pula sebaliknya, dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual, penalaran seperti itu disebut penalaran deduktif. Penalaran matematis penting untuk mengetahui dan mengerjakan matematika. Kemampuan untuk bernalar menjadikan siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya, di dalam dan di luar sekolah. Kapanpun kita menggunakan penalaran untuk memvalidasi pemikiran kita, maka kita meningkatkan rasa percaya diri dengan matematika dan berpikir secara matematik. Adapun aktivitas yang tercakup di dalam kegiatan penalaran matematik meliputi: menarik kesimpulan logis; menggunakan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan hubungan; untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji konjektur; memberikan lawan contoh (counter example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argument; menyusun argument yang valid; menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi matematik.
Secara rinci pembelajaran ini bertujuan untuk memberdayakan anak sampai pada tingkat:
1.Mengenali dan meyakini bahwa memberikan alasan yang masuk akal (bernalar) dan bentuk pembuktian adalah aspek yang mendasar di dalam belajar matematika.
2.Membuat dan memeriksa kembali perkiraan matematika yang telah diduga sebelumnya.
3.Mengembangkan dan mengevaluasi pernyataan matematika dan pembuktiannya.
4.Memilih dan menggunakan berbagai macam bentuk penalaran dan metode pembuktian.
Bernalar secara sistematis adalah keistimewan yang pasti ada pada matematika. Menyelidiki , mencari kebenaran, dan menggunakan perkiraan matematika pada umumnya semua terdapat pada esensi lingkup matematika, dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda pada semua jenjang. Melalui penggunaan penalaran, siswa-siswa belajar dengan matematika untuk mendapatkan pengertian. Penalaran dan mencari bukti harus konsisten dan terbentuk dari pengalaman matematika siswa terebut sejak usia 12 tahun.
Penalaran secara matematik dijadikan suatu kebiasaan yang muncul dari ide pikirannya, dan kebiasaan-kebiasaan itu harus dikembangkan secara kosisten dalam banyak hal di jenjang kelas awal. Pada semua tingkat para siswa memberi alasan secara induktif dari pola-pola dan kasus-kasus khusus. Sebagai contoh untuk membuktikan secara informal dengan kontradiksi,yaitu membuktikan bahwa 0 adalah bilangan genap adalah : ”Jika 0 bilangan ganjil maka 0 dan 1 akan menjadi dua buah bilangan ganjil dalam sebuah barisan. Tetapi ganjil genap adalah selang-seling. Maka 0 haruslah genap.
Di sekolah dasar anak harus belajar membuat pernyataan deduktif efektif yang baik. Menggunakan kebenaran matematika yang mereka tetapkan di kelas. Pada kelas akhir sekolah menengah para siswa dapat memahami dan meperoleh beberapa bukti matematika, menyimpulkan dari hipotesis-hipotesis secara logis dan deduktif dan bisa menilai isi dari suatu argumen-agumen.
Di jejang kelas sekolah menengah lebih lanjut akan belajar berbagai metode pembuktian, antara lain :
1.Pembuktian langsung.
2.Pembuktian dengan cara kontradiksi.
3.Pembuktian dengan cara kontraposisi.
4.Pembuktian dengan cara induksi matematika.
Dengan pembiasaan bernalar siswa dapat pula memutuskan metode pembuktian apa yang harus digunakan untuk menghadapi permasalahan pembuktian matematika dan mampu berpikir logis dalam mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari.
3. Komunikasi matematis (mathematical communication)
Komunikasi matematika merefleksikan pemahaman matematik dan merupakan bagian dari kekuatan matematika. Siswa-siswa mempelajari matematika seakan-akan mereka berbicara dan menulis tentang apa yang mereka sedang kerjakan. Mereka dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, ketika mereka diminta untuk memikirkan ide-ide mereka, atau berbicara dengan dan mendengarkan siswa lain, dalam berbagi ide, strategi dan solusi. Menulis mengenai matematika mendorong siswa untuk merefleksikan pekerjaan mereka dan mengklarifikasi ide-ide untuk mereka sendiri. Membaca apa yang siswa tulis adalah cara yang istimewa untuk para guru dalam mengidentifikasi pengertian dan miskonsepsi dari siswa.
Indikator komunikasi matematis menurut NCTM (1989), dapat dilihat dari:
1.Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;
2.Kemampuan memahami, mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya;
3.Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyejikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.
Komunikasi matematis meliputi kemampuan siswa:
1.menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika;
2.menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar;
3.menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbul matematika;
4.mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
5.membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis;
6.membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi;
7.menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
4. Koneksi matematika (mathematical connections)
Koneksi matematis merupakan pengaitan matematika dengan pelajaran lain, atau dengan topik lain. Koneksi matematik (Mathematical Connections) merupakan kegiatan yang meliputi:
1. mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur;
2. memahami hubungan antar topik matematik;
3.menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari;
4. memahami representasi ekuivalen konsep yang sama;
5. mencari koneksi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen;
6. menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.
Pembelajaran matematika kini telah berpindah dari pandangan mekanistik kepada pemecahan masalah, meningkatkan pemahaman, dan kemampuan berkomunikasi secara matematika dengan orang lain. Jika pada pengajaran matematika di masa lalu siswa diharapkan bekerja secara mandiri dan dapat menguasai algoritma matematika melalui latihan secara intensif. Selanjutnya kurikulum yang sekarang, matematika didesain dan dikembangkan untuk mengembangkan daya matematis siswa, melalui inovasi dan implementasi berbagai pendekatan dan metode. Hal tersebut digunakan untuk membangun kepercayaan diri atas kemampuan matematika mereka melalui proses
(1) Memecahkan masalah;
(2) Memberikanalasan induktif maupun deduktif untuk membuat,
mempertahankan, dan mengevaluasi argumen secara matematis;
(3) Berkomunikasi, menyampaikan ide/gagasan secara matematis;
(4) Mengapresiasi matematika karena keterkaitannyadengan
ilmu lain, aplikasinya pada dunia nyata.
5. Menyajikan matematika (mathematics representation)
Kemampuan manyajikan matematika (mathematics representation) merupakan standar proses yang kelima yang harus dimiliki peserta didik setelah memiliki kemampuan standar proses sebelumnya sebagai penyempurna tujuan pembelajaran matematika. Adapun kemampan menyajikan matematika meliputi antara lain :
1.Menciptakan dan menggunakan representasi untuk menyusun, merekam, dan mengokumikasikan ide matematika.
2.Dapat memilih, menggunakan dan menterjemahkan setiap representasi matematika untuk memecahkan masalah.
3.Menggunakan model penyajian dan menginterpretasikan secara fisik, sosial, dan phenomena matematika.
Penyajiannya tergantung pada pemahaman siswa terhadap konsep matematika dan keterhubungannya. Penyajian yang diikuti siswa untuk mengkomunikasikan pendekatan matematika, argumen, dan pemahaman diri mereka dan yang lain.
Kamis, 21 April 2011
BAGUSKAH EVALUASI SISTEM PERANGKINGAN ?
Orang tua pasti sangat bangga jika anaknya mendapat rangking di atas rata-rata dalam kelasnya. Ini menandakan bahwa anaknya lebih pintar dari yang lain dan si anakpun merasa puas dengan apa yang diperolehnya. Padahal dengan perangkingan seperti ini akan memberikan efek psikologis yang sangat buruk pada anak.
Marilah kita perhatikan uraian dari Anita lie dalam bukunya Cooperative Learning:
Sistem peringkat jelas menanmkan jiwa kompetitif (bersaing). Sejak masa awal pendidikan formal, siswa dipacu agar bisa menjadi lebih baik dari teman-teman sekelas. Sistem kompetisi ini tampak sangat mendominasi dunia pendidikan. Siswa yang jauh melebihi kebanyakan siswa lainnya dianggap berprestasi, sedangkan yang kemampuannya berada di bawah rata-rata kelas dianggap gagal. Sistem semacam ini mengajarkan nilai-nilai survival of the fit-test atau siapa yang kuat dialah yang menang.
Tak pelak lagi, banyak perasaaan negatif timbul dalam diri anak didik terhadap sekolah, pelajaran, guru ataupun teman sekles. Dalam benak anak didik, sekolah adalah arena pertarungan yang akan menentukan apakah dia menang atau kalah. Guru adalah dewa yang siap menempelkan label-label pandai, sedang atau bodoh di dahi anak didik. Teman sekelas adalah musuh. Karena, agar seseorang bisa menjadi pemenang harus mampu mengalahkan teman-teman sekelas. Perasaan negatif ini bisa muncul, baik pada siswa lamban maupun mereka yang pandai. Selain merasa minder, siswa lamban jadi membenci teman-temannya yang lebih pandai karena dianggap menaikkan rata-rata kelas sehingga memposisikan prestasi mereka yang lamban pada peringkat bawah. Sebaliknya, siswa yang pandai menjadi terbiasa untuk merasa puas dan bangga pada diri sendiri di atas kekalahan teman-teman sekelasnya.
Karena ketatnya sistem persaingan (kompetisi), dunia pendidikan telah menelurkan manusia-manusia yang siap untuk menerjang dan menjegal orang lain demi kesuksesan diri sendiri. Homo homini lupus merupakan prinsip dasar dalam dunia kompetisi. Orang-orang ini tidak pernah atau sedikit sekali dibekali kemampuan untuk bisa bekerja sama dengan orang lain. Padahal, dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam dunia pekerjaan, kemampuan untuk bersinergi (bekerja sama) merupakan kunci keberhasilan.
Marilah kita perhatikan uraian dari Anita lie dalam bukunya Cooperative Learning:
Sistem peringkat jelas menanmkan jiwa kompetitif (bersaing). Sejak masa awal pendidikan formal, siswa dipacu agar bisa menjadi lebih baik dari teman-teman sekelas. Sistem kompetisi ini tampak sangat mendominasi dunia pendidikan. Siswa yang jauh melebihi kebanyakan siswa lainnya dianggap berprestasi, sedangkan yang kemampuannya berada di bawah rata-rata kelas dianggap gagal. Sistem semacam ini mengajarkan nilai-nilai survival of the fit-test atau siapa yang kuat dialah yang menang.
Tak pelak lagi, banyak perasaaan negatif timbul dalam diri anak didik terhadap sekolah, pelajaran, guru ataupun teman sekles. Dalam benak anak didik, sekolah adalah arena pertarungan yang akan menentukan apakah dia menang atau kalah. Guru adalah dewa yang siap menempelkan label-label pandai, sedang atau bodoh di dahi anak didik. Teman sekelas adalah musuh. Karena, agar seseorang bisa menjadi pemenang harus mampu mengalahkan teman-teman sekelas. Perasaan negatif ini bisa muncul, baik pada siswa lamban maupun mereka yang pandai. Selain merasa minder, siswa lamban jadi membenci teman-temannya yang lebih pandai karena dianggap menaikkan rata-rata kelas sehingga memposisikan prestasi mereka yang lamban pada peringkat bawah. Sebaliknya, siswa yang pandai menjadi terbiasa untuk merasa puas dan bangga pada diri sendiri di atas kekalahan teman-teman sekelasnya.
Karena ketatnya sistem persaingan (kompetisi), dunia pendidikan telah menelurkan manusia-manusia yang siap untuk menerjang dan menjegal orang lain demi kesuksesan diri sendiri. Homo homini lupus merupakan prinsip dasar dalam dunia kompetisi. Orang-orang ini tidak pernah atau sedikit sekali dibekali kemampuan untuk bisa bekerja sama dengan orang lain. Padahal, dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam dunia pekerjaan, kemampuan untuk bersinergi (bekerja sama) merupakan kunci keberhasilan.
Selasa, 19 April 2011
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CIRC
CIRC singkatan dari Cooperative Integrated Reading and Compotition, termasuk salah satu model pembelajaran cooperative learning yang pada mulanya merupakan pengajaran kooperatif terpadu membaca dan menulis (Steven dan Slavin dalam Nur, 2000:8) yaitu sebuah program komprehensif atau luas dan lengkap untuk pengajaran membaca dan menulis untuk kelas-kelas tinggi sekolah dasar. Namun, CIRC telah berkembang bukan hanya dipakai pada pelajaran bahasa tetapi juga pelajaran eksak seperti pelajaran matematika.
Dalam model pembelajaran CIRC, siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen, yang terdiri atas 4 atau 5 siswa. Dalam kelompok ini tidak dibedakan atas jenis kelamin, suku/bangsa, atau tingkat kecerdasan siswa. Jadi, dalam kelompok ini sebaiknya ada siswa yang pandai, sedang atau lemah, dan masing-masing siswa merasa cocok satu sama lain. Dengan pembelajaran kooperatif, diharapkan para siswa dapat meningkatkan cara berfikir kritis, kreatif dan menumbuhkan rasa sosial yang tinggi.
a. Komponen-komponen dalam pembelajaran CIRC
Model pembelajaran CIRC menurut Slavin dalam Suyitno (2005: 3-4) memiliki delapan komponen. Kedelapan komponen tersebut antara lain: (1). Teams, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 atau 5 siswa; (2). Placement test, misalnya diperoleh dari rata-rata nilai ulangan harian sebelumnya atau berdasarkan nilai rapor agar guru mengetahui kelebihan dan kelemahan siswa pada bidang tertentu; (3). Student creative, melaksanakan tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya; (4). Team study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberika bantuan kepada kelompok yang membutuhkannya; (5). Team scorer and team recognition, yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas; (6). Teaching group, yakni memberikan materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok; (7). Facts test, yaitu pelaksanaan test atau ulangan berdasarkan fakta yang diperoleh siswa; (8). Whole-class units, yaitu pemberian rangkuman materi oleh guru di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
b. Kegiatan pokok pembelajaran CIRC
Kegiatan pokok dalam CIRC untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah meliputi rangkaian kegiatan bersama yang spesifik, yaitu: (1). Salah satu anggota atau beberapa kelompok membaca soal, (2). Membuat prediksi atau menafsirkan isi soal pemecahan masalah, termasuk menuliskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan dan memisalkan yang ditanyakan dengan suatu variabel, (3). Saling membuat ikhtisar/rencana penyelesaian soal pemecahan masalah, (4). Menuliskan penyelesaian soal pemecahan masalah secara urut, dan (5). Saling merevisi dan mengedit pekerjaan/penyelesaian (Suyitno, 2005:4).
c. Penerapan model pembelajaran CIRC
Penerapan model pembelajaran CIRC untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat ditempuh dengan:
1). Guru menerangkan suatu pokok bahasan matematika kepada siswa, pada penelitian ini digunakan LKS yang berisi materi yang akan diajarkan pada setiap pertemuan
2). Guru memberikan latihan soal
3). Guru siap melatih siswa untuk meningkatkan keterampilan siswanya dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah melalui penerapan model CIRC
4). Guru membentuk kelompok-kelompok belajar siswa yang heterogen
5). Guru mempersiapkan soal pemecahan masalah dalam bentuk kartu masalah dan membagikannya kepada setiap kelompok
6). Guru memberitahukan agar dalam setiap kelompok terjadi serangkaian kegiatan bersama yang spesifik
7). Setiap kelompok bekerja berdasarkan kegiatan pokok CIRC. Guru mengawasi kerja kelompok
8). Ketua kelompok melaporkan keberhasilan atau hambatan kelompoknya
9). Ketua kelompok harus dapat menetapkan bahwa setiap anggota telah memahami, dan dapat mengerjakan soal pemecahan masalah yang diberikan
10). Guru meminta kepada perwakilan kelompok untuk menyajikan temuannya
11). Guru bertindak sebagai nara sumber atau fasilitator
12). Guru memberikan tugas/PR secara individual
13). Guru membubarkan kelompok dan siswa kembali ke tempat duduknya
14). Guru mengulang secara klasikal tentang strategi penyelesaian soal pemecahan masalah
15). Guru memberikan kuis
d. Kekuatan model pembelajaran CIRC
Secara khusus, Slavin dalam Suyitno (2005:6) menyebutkan kelebihan model pembelajaran CIRC sebagai berikut:
1). CIRC amat tepat untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
2). Dominasi guru dalam pembelajaran berkurang
3). Siswa termotivasi pada hasil secara teliti, karena bekerja dalam kelompok
4). Para siswa dapat memahami makna soal dan saling mengecek pekerjaannya
5). Membantu siswa yang lemah
6). Meningkatkan hasil belajar khususnya dalam menyelesaikan soal yang berbentuk pemecahan masalah
Dalam model pembelajaran CIRC, siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen, yang terdiri atas 4 atau 5 siswa. Dalam kelompok ini tidak dibedakan atas jenis kelamin, suku/bangsa, atau tingkat kecerdasan siswa. Jadi, dalam kelompok ini sebaiknya ada siswa yang pandai, sedang atau lemah, dan masing-masing siswa merasa cocok satu sama lain. Dengan pembelajaran kooperatif, diharapkan para siswa dapat meningkatkan cara berfikir kritis, kreatif dan menumbuhkan rasa sosial yang tinggi.
a. Komponen-komponen dalam pembelajaran CIRC
Model pembelajaran CIRC menurut Slavin dalam Suyitno (2005: 3-4) memiliki delapan komponen. Kedelapan komponen tersebut antara lain: (1). Teams, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 atau 5 siswa; (2). Placement test, misalnya diperoleh dari rata-rata nilai ulangan harian sebelumnya atau berdasarkan nilai rapor agar guru mengetahui kelebihan dan kelemahan siswa pada bidang tertentu; (3). Student creative, melaksanakan tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya; (4). Team study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberika bantuan kepada kelompok yang membutuhkannya; (5). Team scorer and team recognition, yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas; (6). Teaching group, yakni memberikan materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok; (7). Facts test, yaitu pelaksanaan test atau ulangan berdasarkan fakta yang diperoleh siswa; (8). Whole-class units, yaitu pemberian rangkuman materi oleh guru di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
b. Kegiatan pokok pembelajaran CIRC
Kegiatan pokok dalam CIRC untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah meliputi rangkaian kegiatan bersama yang spesifik, yaitu: (1). Salah satu anggota atau beberapa kelompok membaca soal, (2). Membuat prediksi atau menafsirkan isi soal pemecahan masalah, termasuk menuliskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan dan memisalkan yang ditanyakan dengan suatu variabel, (3). Saling membuat ikhtisar/rencana penyelesaian soal pemecahan masalah, (4). Menuliskan penyelesaian soal pemecahan masalah secara urut, dan (5). Saling merevisi dan mengedit pekerjaan/penyelesaian (Suyitno, 2005:4).
c. Penerapan model pembelajaran CIRC
Penerapan model pembelajaran CIRC untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat ditempuh dengan:
1). Guru menerangkan suatu pokok bahasan matematika kepada siswa, pada penelitian ini digunakan LKS yang berisi materi yang akan diajarkan pada setiap pertemuan
2). Guru memberikan latihan soal
3). Guru siap melatih siswa untuk meningkatkan keterampilan siswanya dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah melalui penerapan model CIRC
4). Guru membentuk kelompok-kelompok belajar siswa yang heterogen
5). Guru mempersiapkan soal pemecahan masalah dalam bentuk kartu masalah dan membagikannya kepada setiap kelompok
6). Guru memberitahukan agar dalam setiap kelompok terjadi serangkaian kegiatan bersama yang spesifik
7). Setiap kelompok bekerja berdasarkan kegiatan pokok CIRC. Guru mengawasi kerja kelompok
8). Ketua kelompok melaporkan keberhasilan atau hambatan kelompoknya
9). Ketua kelompok harus dapat menetapkan bahwa setiap anggota telah memahami, dan dapat mengerjakan soal pemecahan masalah yang diberikan
10). Guru meminta kepada perwakilan kelompok untuk menyajikan temuannya
11). Guru bertindak sebagai nara sumber atau fasilitator
12). Guru memberikan tugas/PR secara individual
13). Guru membubarkan kelompok dan siswa kembali ke tempat duduknya
14). Guru mengulang secara klasikal tentang strategi penyelesaian soal pemecahan masalah
15). Guru memberikan kuis
d. Kekuatan model pembelajaran CIRC
Secara khusus, Slavin dalam Suyitno (2005:6) menyebutkan kelebihan model pembelajaran CIRC sebagai berikut:
1). CIRC amat tepat untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
2). Dominasi guru dalam pembelajaran berkurang
3). Siswa termotivasi pada hasil secara teliti, karena bekerja dalam kelompok
4). Para siswa dapat memahami makna soal dan saling mengecek pekerjaannya
5). Membantu siswa yang lemah
6). Meningkatkan hasil belajar khususnya dalam menyelesaikan soal yang berbentuk pemecahan masalah
Jumat, 15 April 2011
Menumbuhkan Minat Siswa terhadap Matematika
Adanya mitos-mitos tentang matematika membuat hampir semua orang menjauhi pelajaran matematika. Nah, sekarang bagaimana kita mengupayakan agar matematika bisa memasyarakat. Dalam artian, bagaimana masyarakat itu mengetahui matematika secara utuh, sehingga tidak ada kepincangan informasi di masyarakat. Karena informasi parsial yang diterima masyarakat merupakan salah satu akar permasalahan yang menimbulkan matematika tidak memasyarakat. Kepincangan informasi tersebut yang mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap matematika menimbulkan kesan negatif. Dengan deminikan, cara yang paling efektif, menurut hemat penulis dalam rangka memasyarakatkan konsep matematika secara utuh adalah melalui siswa yang sedang belajar matematika di bangku sekolah. Lalu, bagaimana seharusnya proses pendidikan atau pembelajaran matematika di sekolah itu diselenggarakan? Mungkinkah menghadirkan pendidikan matematika tidak lagi dipandang sebagai momok yang menyeramkan?
Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan pendidikan matematika di sekolah, pertama kali yang harus dilaksnakan adalah bagaimana menumbuhkan kembali manat siswa terhadap matematika. Sebab tanpa adanya minat, siswa akan sulit untuk mau belajar, dan kemudian menguasai matematika secara sempurna. Menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika akan sangat terkait dengan berbagai aspek yang melingkupi proses pembelajaran matematika di sekolah. Aspek-aspek itu menyangkut pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran matematika, metode pengajaran, maupun aspek-aspek lain yang mungkin tidak secara langsung berhubungqan dengan proses pembelajaran matematika, misalnya sikap orang tua (atau masyarakat pada umumnya) terhadap matematika.
Untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika, pembelajaran matematika di sekolah dalam penyajiannya harus diupayakan dengan cara yang lebih menarik bagi siswa. Apalagi matematika sebenarnya memiliki banyak sisi yang menarik. Namun, sering kali sisi tersebut tidak dihadirkan dalam proses pembelajaran matematika. Akibatnya, siswa mengenal matematika tidak secara utuh. Matematika hanya dikenal oleh siswa sebagai kumpulan rumus, angka dan simbol belaka.
Pembelajaran matematika di sekolah tidak dapat dilepaskan dari pendekatan yang digunakan oleh guru. Pendekatan tersebut biasanya dipengaruhi oleh pemahaman guru tentang sifat matematika, bukan oleh apa yang diyakini plaing baik untuk proses pembelajaran matematika di kelas. Guru yang memandang matematika sebgai produk yang sudah jadi akan mengarahkan proseis pembelajaran siswa untuk menerima pengetahuan yang sudah jadi. Guru akan cenderung mengisi pikirian siswa dengan sesuatu yang jadi. Sementara guru yang memandang bahwa matematika merupakan suatu proses, akan lebih menekankan aspek proses daripada aspek produk dalam pembelajaran matematika (Marpaung 1998).
Namun sayang, pendidikan matematika di negeri ini sudah terlanjur dan banyak “luka psikologis” yang diderita siswa berkaitan dengan pendidikan matematika. Untuk dapat menyembuhkan luka psikologis tersebut, peran seorang guru sangat besar sehingga minat siswa terhadap matematika tumbuh subur kembali. Di samping peran guru, peran siswa, orangtua dan pihak lain yang secaraq langsung maupun tidak langsung tgerlibat dalam proses pembelajaran matematika di sekolah juga ikut mendukung, agar pendidikan matematika di sekolah juga ikut mendukung, agar pendidikan matematika di sekolah dapat berlangsung dengan baik dan sampai pada tujuannya. Antara satu komponen dan komponen lain yang terlibat dalam pendidikan matematika diharapkan dapat saling menginspirasi atar pembelajaran matematika di sekolah mendjadi lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan, lebih dinamis dan humanis.
Berbagai usaha yang dilakukan dalam proses pembelajarqan matematika di sekolah tersebut, diharapkan matematika tidak lagi dipandang secara parsial oleh siswa, guru, masyarakat atau pihak lain. Melainkan mereka dapat memandang matematika secara utuh yang pada akhirnya dapat memacu dan berpartisipasi untuk membangun peradaban dunia demi kemajuan sains dan teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi ummat manusia.
(disadur dari buku: Mathematical Intelligence)
Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan pendidikan matematika di sekolah, pertama kali yang harus dilaksnakan adalah bagaimana menumbuhkan kembali manat siswa terhadap matematika. Sebab tanpa adanya minat, siswa akan sulit untuk mau belajar, dan kemudian menguasai matematika secara sempurna. Menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika akan sangat terkait dengan berbagai aspek yang melingkupi proses pembelajaran matematika di sekolah. Aspek-aspek itu menyangkut pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran matematika, metode pengajaran, maupun aspek-aspek lain yang mungkin tidak secara langsung berhubungqan dengan proses pembelajaran matematika, misalnya sikap orang tua (atau masyarakat pada umumnya) terhadap matematika.
Untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika, pembelajaran matematika di sekolah dalam penyajiannya harus diupayakan dengan cara yang lebih menarik bagi siswa. Apalagi matematika sebenarnya memiliki banyak sisi yang menarik. Namun, sering kali sisi tersebut tidak dihadirkan dalam proses pembelajaran matematika. Akibatnya, siswa mengenal matematika tidak secara utuh. Matematika hanya dikenal oleh siswa sebagai kumpulan rumus, angka dan simbol belaka.
Pembelajaran matematika di sekolah tidak dapat dilepaskan dari pendekatan yang digunakan oleh guru. Pendekatan tersebut biasanya dipengaruhi oleh pemahaman guru tentang sifat matematika, bukan oleh apa yang diyakini plaing baik untuk proses pembelajaran matematika di kelas. Guru yang memandang matematika sebgai produk yang sudah jadi akan mengarahkan proseis pembelajaran siswa untuk menerima pengetahuan yang sudah jadi. Guru akan cenderung mengisi pikirian siswa dengan sesuatu yang jadi. Sementara guru yang memandang bahwa matematika merupakan suatu proses, akan lebih menekankan aspek proses daripada aspek produk dalam pembelajaran matematika (Marpaung 1998).
Namun sayang, pendidikan matematika di negeri ini sudah terlanjur dan banyak “luka psikologis” yang diderita siswa berkaitan dengan pendidikan matematika. Untuk dapat menyembuhkan luka psikologis tersebut, peran seorang guru sangat besar sehingga minat siswa terhadap matematika tumbuh subur kembali. Di samping peran guru, peran siswa, orangtua dan pihak lain yang secaraq langsung maupun tidak langsung tgerlibat dalam proses pembelajaran matematika di sekolah juga ikut mendukung, agar pendidikan matematika di sekolah juga ikut mendukung, agar pendidikan matematika di sekolah dapat berlangsung dengan baik dan sampai pada tujuannya. Antara satu komponen dan komponen lain yang terlibat dalam pendidikan matematika diharapkan dapat saling menginspirasi atar pembelajaran matematika di sekolah mendjadi lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan, lebih dinamis dan humanis.
Berbagai usaha yang dilakukan dalam proses pembelajarqan matematika di sekolah tersebut, diharapkan matematika tidak lagi dipandang secara parsial oleh siswa, guru, masyarakat atau pihak lain. Melainkan mereka dapat memandang matematika secara utuh yang pada akhirnya dapat memacu dan berpartisipasi untuk membangun peradaban dunia demi kemajuan sains dan teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi ummat manusia.
(disadur dari buku: Mathematical Intelligence)
Rabu, 13 April 2011
Kalkulator dan Logika Anak
Alat bantu belajar bernama kalkulator memang meringankan tugas siswa sekolah. Tetapi apabila selalu menggantungkan alat tersebut dalam setiap menyelesaikan soal-soal matematika, justru akan merusak kemandirian anak dalam berhitung. Pada gilirannya, mereka terbiasa dengan output dan input, tanpa memahami proses demi proses terjadinya keduanya.
MEMANG, kalkulator bisa membuat siswa sekolah menyenangi matematika. Mereka yang takut, gugup, atau pusing ketika mengerjakan soal matematika merasa terbantu saat menggunakan kalkulator, sehingga menjadi lebih bersemangat. Dengan demikian, pada satu sisi, kalkulator harus dipandang sebagai kontributor signifikan bagi apresiasi matematika itu sendiri.
Matematikawan asal Malaysia, Prof Dr Noraini Idris, pun berpendapat kalkulator memungkinkan mata pelajaran matematika kian menarik karena adanya dorongan interaksi untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut dia, penggunaan kalkulator memberi kesempatan lebih beragam kepada anak untuk berinteraksi. Sebab mereka punya waktu ketika menggunakannya untuk menyelesaikan soal matematika ketimbang jika melakukan perhitungan secara manual. Tetapi bukan berarti kalkulator harus digunakan setiap saat. Soal simpel saja harus dilakukan dengan kalkulator. Ini sudah ketergantungan namanya, dan sangat berbahaya bagi logika masa depan si anak.
Kalkulator harus diposisikan sebagai perangsang saja, untuk mengurangi beban psikologis atau meningkatkan motivasi belajar. Kalau tekanan psikologis sudah berkurang, atau motivasi belajar sudah muncul, mulailah secara perlahan untuk mengurangi atau mengendalikan penggunaannya. Tidak perlu drastis. Mulanya sembilan dari sepuluh soal dibiarkan untuk diselesaikan dengan kalkulator. Sisanya secara manual. Tahap selanjutnya dikurangi lagi satu. Begitu seterusnya, sampai anak benar-benar siap melepas ketergantungan terhadap kalkulator. Kalau perlu tantang mereka, ’’Masak kalah dengan kalkulator’’, atau ’’Malu dong kalau pakai kalkulator terus’’. Pokoknya berikan kesan kepada anak, bahwa otak manusia harus bisa mengalahkan kalkulator.
Memahami Proses
Dengan kalkulator, anak sekolah terutama siswa-siswi SD memang bisa saja menghitung perkalian dua bilangan besar, bahkan sampai jutaan. Tetapi apa mereka memahami proses yang terjadi di belakang layar itu? Padahal proses itulah yang kelak menjadi sangat penting bagi tumbuhnya pola berpikir tuntas, detail, dan integratif untuk berbagai persoalan. Misalkan diminta menghitung perkalian 4,5 x 1,5, si anak akan menjawab 6,75 sesuai dengan apa yang tertulis pada layar kalkulator. Namun, apakah dia tahu dari mana angka tersebut berasal?
Menurut pakar pendidikan Prof Dr Arief Rachman, ada bidang matematika yang tidak boleh dipelajari dengan bantuan kalkulator. Misalnya perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. ’’Materi ini dimaksudkan untuk melatih logika anak dalam berhitung. Jika diberi bantuan kalkulator, anak tidak akan bisa memahaminya dengan baik,’’ kata Arief.
Ketergantungan anak pada kalkulator bisa menghambat sikap kritis, aktif, dan kreatif. Akhirnya tercetaklah sosok manusia berwawasan klise dalam berucap, bertindak, dan berbuat. Apa mungkin jiwa pelopor muncul pada mereka?
Adanya pertalian antarsimbol hitungan, yang seharusnya bisa menghasilkan rumusan khas, tetapi berhubung sejak awal pola belajar sudah seperti itu, maka pengungkapannya masih terasa referensial. Belum bersifat analisis atau sintensis hasil pemikiran original.
Jangka Panjang
Bagaimana pun canggih kalkulator, kemampuan berhitung anak baru dapat dikatakan modern kalau proses dan hasilnya mencerminkan kemampuannya menghadapi situasi-kondisi yang berbeda secara mandiri, sehingga mampu merumuskan jalan keluar atas setiap permasalahan. Kini timbul kesan seakan-akan berhitung secara manual memboroskan waktu. Padahal ketergantungan kepada kalkulator justru memunculkan beragam inefisiensi, misalnya terkurasnya waktu untuk mengasah otak, meski hal itu baru dirasakan dalam jangka panjang.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak orang tua menjauhkan anak dari kalkulator. Tetapi bagaimana menempatkannya secara proporsional melalui approach education. Jika anak sedang sakit kepala, kemudian harus mengerjakan soal matematika yang ditugaskan sekolah, tidak salah jika dibantu dengan kalkulator. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Sketsa di atas sekadar melukiskan, kandungan pengetahuan dalam proses jauh lebih penting ketimbang sekadar output-input. Walaupun belum merupakan barang siap pakai, ia bisa menjadi sumber referensi yang dahsyat untuk berkreasi, berimprovisasi, atau berinovasi. (Nasrullah Idris, dari Reformasi Sains Matematika Teknologi Bandung-32)
Sumber: suaramerdeka.com
MEMANG, kalkulator bisa membuat siswa sekolah menyenangi matematika. Mereka yang takut, gugup, atau pusing ketika mengerjakan soal matematika merasa terbantu saat menggunakan kalkulator, sehingga menjadi lebih bersemangat. Dengan demikian, pada satu sisi, kalkulator harus dipandang sebagai kontributor signifikan bagi apresiasi matematika itu sendiri.
Matematikawan asal Malaysia, Prof Dr Noraini Idris, pun berpendapat kalkulator memungkinkan mata pelajaran matematika kian menarik karena adanya dorongan interaksi untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut dia, penggunaan kalkulator memberi kesempatan lebih beragam kepada anak untuk berinteraksi. Sebab mereka punya waktu ketika menggunakannya untuk menyelesaikan soal matematika ketimbang jika melakukan perhitungan secara manual. Tetapi bukan berarti kalkulator harus digunakan setiap saat. Soal simpel saja harus dilakukan dengan kalkulator. Ini sudah ketergantungan namanya, dan sangat berbahaya bagi logika masa depan si anak.
Kalkulator harus diposisikan sebagai perangsang saja, untuk mengurangi beban psikologis atau meningkatkan motivasi belajar. Kalau tekanan psikologis sudah berkurang, atau motivasi belajar sudah muncul, mulailah secara perlahan untuk mengurangi atau mengendalikan penggunaannya. Tidak perlu drastis. Mulanya sembilan dari sepuluh soal dibiarkan untuk diselesaikan dengan kalkulator. Sisanya secara manual. Tahap selanjutnya dikurangi lagi satu. Begitu seterusnya, sampai anak benar-benar siap melepas ketergantungan terhadap kalkulator. Kalau perlu tantang mereka, ’’Masak kalah dengan kalkulator’’, atau ’’Malu dong kalau pakai kalkulator terus’’. Pokoknya berikan kesan kepada anak, bahwa otak manusia harus bisa mengalahkan kalkulator.
Memahami Proses
Dengan kalkulator, anak sekolah terutama siswa-siswi SD memang bisa saja menghitung perkalian dua bilangan besar, bahkan sampai jutaan. Tetapi apa mereka memahami proses yang terjadi di belakang layar itu? Padahal proses itulah yang kelak menjadi sangat penting bagi tumbuhnya pola berpikir tuntas, detail, dan integratif untuk berbagai persoalan. Misalkan diminta menghitung perkalian 4,5 x 1,5, si anak akan menjawab 6,75 sesuai dengan apa yang tertulis pada layar kalkulator. Namun, apakah dia tahu dari mana angka tersebut berasal?
Menurut pakar pendidikan Prof Dr Arief Rachman, ada bidang matematika yang tidak boleh dipelajari dengan bantuan kalkulator. Misalnya perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. ’’Materi ini dimaksudkan untuk melatih logika anak dalam berhitung. Jika diberi bantuan kalkulator, anak tidak akan bisa memahaminya dengan baik,’’ kata Arief.
Ketergantungan anak pada kalkulator bisa menghambat sikap kritis, aktif, dan kreatif. Akhirnya tercetaklah sosok manusia berwawasan klise dalam berucap, bertindak, dan berbuat. Apa mungkin jiwa pelopor muncul pada mereka?
Adanya pertalian antarsimbol hitungan, yang seharusnya bisa menghasilkan rumusan khas, tetapi berhubung sejak awal pola belajar sudah seperti itu, maka pengungkapannya masih terasa referensial. Belum bersifat analisis atau sintensis hasil pemikiran original.
Jangka Panjang
Bagaimana pun canggih kalkulator, kemampuan berhitung anak baru dapat dikatakan modern kalau proses dan hasilnya mencerminkan kemampuannya menghadapi situasi-kondisi yang berbeda secara mandiri, sehingga mampu merumuskan jalan keluar atas setiap permasalahan. Kini timbul kesan seakan-akan berhitung secara manual memboroskan waktu. Padahal ketergantungan kepada kalkulator justru memunculkan beragam inefisiensi, misalnya terkurasnya waktu untuk mengasah otak, meski hal itu baru dirasakan dalam jangka panjang.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak orang tua menjauhkan anak dari kalkulator. Tetapi bagaimana menempatkannya secara proporsional melalui approach education. Jika anak sedang sakit kepala, kemudian harus mengerjakan soal matematika yang ditugaskan sekolah, tidak salah jika dibantu dengan kalkulator. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Sketsa di atas sekadar melukiskan, kandungan pengetahuan dalam proses jauh lebih penting ketimbang sekadar output-input. Walaupun belum merupakan barang siap pakai, ia bisa menjadi sumber referensi yang dahsyat untuk berkreasi, berimprovisasi, atau berinovasi. (Nasrullah Idris, dari Reformasi Sains Matematika Teknologi Bandung-32)
Sumber: suaramerdeka.com
Selasa, 12 April 2011
Pengembangan ICT dalam Pembelajaran di SMA
Oleh:
R. Bambang Aryan Soekisno – Bogor
A. Mengapa Menggunakan ICT ?
Proses belajar mengajar (PBM) seringkali dihadapkan pada materi yang abstrak dan di luar pengalaman siswa sehari-hari, sehingga materi ini menjadi sulit diajarkan guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Gambar dua dimensi atau model tiga dimensi adalah visualisasi yang sering dilakukan dalam PBM. Pada era informatika visualisasi berkembang dalam bentuk gambar bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan suara (audio). Sajian audio visual atau lebih dikenal dengan sebutan multimedia menjadikan visualisasi lebih menarik. ICT dalam hal ini komputer dengan dukungan multimedia dapat menyajikan sebuah tampilan berupa teks nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat pengguna (user) lebih leluasa memilih, mensintesa, dan mengelaborasi pengetahuan yang ingin dipahaminya. Walhasil komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran, karena komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi, seperti yang diinginkan. Iklim afektif ini akan melibatkan penggambaran ulang berbagai objek yang ada dalam pikiran siswa. Dan iklim inilah yang membuat tingkat retensi siswa pengguna komputer multimedia lebih tinggi daripada bukan pengguna.
B. Bagaimana Karakteristik Materi Berbasis ICT ?
Sebuah pepatah menyebutkan I hear I forget, I see I Know, I do I Understand. Penelitian De Porter mengungkapkan manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dikerjakan, 50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio visual), sedangkan dari yang dilihatnya hanya 30%, dari yang didengarnya hanya 20%, dan dari yang dibaca hanya 10%. Berdasarkan ini semua, maka kegiatan hands on dalam PBM harus tetap diutamakan.
Kadang kala PBM dihadapkan pada materi yang tidak dapat dilakukan secara hands on. Misalnya suatu percobaan membutuhkan waktu lama, sedangkan waktu PBM terbatas atau benda sebenarnya sulit untuk diperlihatkan dan dieksplorasi oleh siswa. Pada saat seperti inilah diperlukan alat bantu pengajaran, salah satunya adalah pembelajaran berbasis ICT (komputer multimedia). Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan, jika ingin menggunakan komputer multimedia dalam PBM adalah mengkaji karakteristik materi. Walaupun kegiatan yang bersifat hands on dapat digantikan dengan multimedia, tetapi hal ini tidak disarankan untuk digunakan. Sebaiknya multimedia digunakan hanya untuk pembelajaran yang tidak memungkinkan dilakukan secara hands on. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan materi yang akan disajikan ke dalam bentuk wacana multimedia.
C. Bagaimana Cara Mengolah Materi yang Disajikan dengan Berbasis ICT ?
Pengolahan materi yang akan disajikan dalam bentuk multimedia dapat mengikuti tahapan pengolahan materi subyek. Tahapan tersebut adalah seleksi I, strukturisasi, seleksi II, dan reduksi .
Tahap 1. Seleksi buku
Memilih sebuah buku yang akan menjadi acuan dengan pertimbangan isi materi, tingkat kesulitan, metodologi instruksional, dan integritas keilmuan penulis.
Tahap 2. Strukturisasi
Sturkturisasi diawali dengan membuat proposisi dari teks dasar.
Setelah menentukan proposisi utama, makro, dan mikro, langkah selanjutnya adalah mengalihkannya ke bentuk outline, sehingga didapatkan sebuah model representasi teks.
Tahap 3. Seleksi materi yang sesuai kebutuhan siswa
Tidak semua materi yang ada pada topik/materi diperlukan oleh siswa. Oleh karena itu dibutuhkan pemilihan kembali terhadap materi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Tahap 4. Reduksi
Reduksi pada materi yang akan diajarkan dilakukan dengan cara penyederhanakan bahasa, visualisasi, dan penggunaan teknik historis dalam pemaparannya.
Penyederhanaan bahasa dilakukan dengan mengabaikan hal-hal kurang relevan dengan kebutuhan siswa. Visualisasi dilakukan dengan memberikan gambar dari suatu proses yang terjadi. Akan lebih mudah dipahami jika disajikan dalam bentuk gambar (visual).
D. Bagaimana Cara Menyajikan Wacana Berbasis ICT?
Aneka program komputer (software) dapat digunakan untuk membuat wacana multimedia. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan software selain kemampuan atau penguasaan terhadap software, adalah spesifikasi perangkat keras (hardware) yang tersedia di sekolah. Pertimbangan spesifikasi hardware ini sangat penting, karena hanya dengan spesifikasi hardware yang mendukung, wacana multimedia yang telah dibuat dapat berjalan dengan baik. Jika ketersediaan hardware di sekolah edisi P166 ke bawah, maka tidak disarankan membuat wacana multimedia menggunakan Macromedia Flash, untuk kondisi hardware seperti itu penggunaan program Microsoft Power Point sudah cukup memadai. Program Microsoft Power Point menampilkan menu-menu yang berguna dalam pembuatan wacana multimedia yang bersifat tutorial. Menu-menu tersebut adalah menu animasi; menu untuk memasukan (import file) suara, video, dan gambar animasi; dan menu tautan (hyperlink) untuk menghubungkan antara satu simpul (node) atau file dengan simpul atau file lainnya. Menu-menu ini menjadikan program Microsoft Power Point tidak hanya berperan sebagai alat presentasi (tools) tetapi dapat dikembangkan menjadi tutor. Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam pembuatan wacana multimedia yang sifatnya tutorial adalah ketersediaan menu-menu yang dapat diakses dan adanya ikon tutorial yang akan membimbing pengguna wacana multimedia (user).
R. Bambang Aryan Soekisno – Bogor
A. Mengapa Menggunakan ICT ?
Proses belajar mengajar (PBM) seringkali dihadapkan pada materi yang abstrak dan di luar pengalaman siswa sehari-hari, sehingga materi ini menjadi sulit diajarkan guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Gambar dua dimensi atau model tiga dimensi adalah visualisasi yang sering dilakukan dalam PBM. Pada era informatika visualisasi berkembang dalam bentuk gambar bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan suara (audio). Sajian audio visual atau lebih dikenal dengan sebutan multimedia menjadikan visualisasi lebih menarik. ICT dalam hal ini komputer dengan dukungan multimedia dapat menyajikan sebuah tampilan berupa teks nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat pengguna (user) lebih leluasa memilih, mensintesa, dan mengelaborasi pengetahuan yang ingin dipahaminya. Walhasil komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran, karena komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi, seperti yang diinginkan. Iklim afektif ini akan melibatkan penggambaran ulang berbagai objek yang ada dalam pikiran siswa. Dan iklim inilah yang membuat tingkat retensi siswa pengguna komputer multimedia lebih tinggi daripada bukan pengguna.
B. Bagaimana Karakteristik Materi Berbasis ICT ?
Sebuah pepatah menyebutkan I hear I forget, I see I Know, I do I Understand. Penelitian De Porter mengungkapkan manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dikerjakan, 50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio visual), sedangkan dari yang dilihatnya hanya 30%, dari yang didengarnya hanya 20%, dan dari yang dibaca hanya 10%. Berdasarkan ini semua, maka kegiatan hands on dalam PBM harus tetap diutamakan.
Kadang kala PBM dihadapkan pada materi yang tidak dapat dilakukan secara hands on. Misalnya suatu percobaan membutuhkan waktu lama, sedangkan waktu PBM terbatas atau benda sebenarnya sulit untuk diperlihatkan dan dieksplorasi oleh siswa. Pada saat seperti inilah diperlukan alat bantu pengajaran, salah satunya adalah pembelajaran berbasis ICT (komputer multimedia). Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan, jika ingin menggunakan komputer multimedia dalam PBM adalah mengkaji karakteristik materi. Walaupun kegiatan yang bersifat hands on dapat digantikan dengan multimedia, tetapi hal ini tidak disarankan untuk digunakan. Sebaiknya multimedia digunakan hanya untuk pembelajaran yang tidak memungkinkan dilakukan secara hands on. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan materi yang akan disajikan ke dalam bentuk wacana multimedia.
C. Bagaimana Cara Mengolah Materi yang Disajikan dengan Berbasis ICT ?
Pengolahan materi yang akan disajikan dalam bentuk multimedia dapat mengikuti tahapan pengolahan materi subyek. Tahapan tersebut adalah seleksi I, strukturisasi, seleksi II, dan reduksi .
Tahap 1. Seleksi buku
Memilih sebuah buku yang akan menjadi acuan dengan pertimbangan isi materi, tingkat kesulitan, metodologi instruksional, dan integritas keilmuan penulis.
Tahap 2. Strukturisasi
Sturkturisasi diawali dengan membuat proposisi dari teks dasar.
Setelah menentukan proposisi utama, makro, dan mikro, langkah selanjutnya adalah mengalihkannya ke bentuk outline, sehingga didapatkan sebuah model representasi teks.
Tahap 3. Seleksi materi yang sesuai kebutuhan siswa
Tidak semua materi yang ada pada topik/materi diperlukan oleh siswa. Oleh karena itu dibutuhkan pemilihan kembali terhadap materi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Tahap 4. Reduksi
Reduksi pada materi yang akan diajarkan dilakukan dengan cara penyederhanakan bahasa, visualisasi, dan penggunaan teknik historis dalam pemaparannya.
Penyederhanaan bahasa dilakukan dengan mengabaikan hal-hal kurang relevan dengan kebutuhan siswa. Visualisasi dilakukan dengan memberikan gambar dari suatu proses yang terjadi. Akan lebih mudah dipahami jika disajikan dalam bentuk gambar (visual).
D. Bagaimana Cara Menyajikan Wacana Berbasis ICT?
Aneka program komputer (software) dapat digunakan untuk membuat wacana multimedia. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan software selain kemampuan atau penguasaan terhadap software, adalah spesifikasi perangkat keras (hardware) yang tersedia di sekolah. Pertimbangan spesifikasi hardware ini sangat penting, karena hanya dengan spesifikasi hardware yang mendukung, wacana multimedia yang telah dibuat dapat berjalan dengan baik. Jika ketersediaan hardware di sekolah edisi P166 ke bawah, maka tidak disarankan membuat wacana multimedia menggunakan Macromedia Flash, untuk kondisi hardware seperti itu penggunaan program Microsoft Power Point sudah cukup memadai. Program Microsoft Power Point menampilkan menu-menu yang berguna dalam pembuatan wacana multimedia yang bersifat tutorial. Menu-menu tersebut adalah menu animasi; menu untuk memasukan (import file) suara, video, dan gambar animasi; dan menu tautan (hyperlink) untuk menghubungkan antara satu simpul (node) atau file dengan simpul atau file lainnya. Menu-menu ini menjadikan program Microsoft Power Point tidak hanya berperan sebagai alat presentasi (tools) tetapi dapat dikembangkan menjadi tutor. Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam pembuatan wacana multimedia yang sifatnya tutorial adalah ketersediaan menu-menu yang dapat diakses dan adanya ikon tutorial yang akan membimbing pengguna wacana multimedia (user).
Sabtu, 09 April 2011
Pembelajaran Matematika Konvensional
Sebagaimana dikatakan oleh Philip R. Wallace tentang Pendekatan konservatif, pendekatan konvensional memandang bahwa proses pembelajaran yang dilakukan sebagaimana umumnya guru mengajarkan materi kepada siswanya. Guru mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima.
Menurut Philip R. Wallace (1992: 13) Pendekatan pembelajaran dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang konservatif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi murid-muridnya.
b. Perhatian kepada masing-masing individu atau minat siswa sangat kecil.
c. Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
d. Penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolok ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa diabaikan.
Menurut Ujang Sukandi (2003) mendeskripsikan bahwa Pendekatan konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di sini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-transfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Institute of Computer Technology (2006:10) menyebutnya dengan istilah “Pengajaran tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk:
a. Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
b. Menyampaikan informasi dengan cepat.
c. Membangkitkan minat akan informasi.
d. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut:
a. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
b. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari.
c. Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.
d. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat pribadi.
Proses pembelajaran dalam pendekatan konvensional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) lebih berpusat guru; (b) fokus pembelajaran lebih pada struktur dan format bahasanya (ilmu bahasa); (c) Guru berbicara, siswa mendengarkan; (d) para siswa melakukan kegiatan sendiri; (e) Guru selalu memonitor dan mengoreksi tiap-tiap ucapan siswa; (f) guru menjawab pertanyaan para siswa tentang (ilmu) bahasa; (g) guru yang menentukan topik atau tema pembelajaran; (h) guru menilai hasil belajar siswa; dan (i) kelas tenang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih banyak menggunakan ceramah dan demonstrasi, dan materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang cenderung tradisional atau konvensional berdasarkan uraian di atas adalah pendekatan ekspositori. Menurut Gerlach dan Ely (1980) bahwa pendekatan ekspositori merupakan pendekatan yang cenderung tradisional yaitu pengajar menyampaikan informasi kepada anak didik. Dalam kaitannya dengan ini, sumber-sumber informasi yang digunakan guru adalah buku teks, bahan-bahan lain sebagai referensi serta pengalaman guru. Adapun tenkin yang sering digunakan guru dalam pendekatan pembelajaran ini yaitu teknik ceramah, kadang-kadang diskusi, penampilan gambar-gambar dan mendengarkan tanggapan guru. Hudojo (2005) berpendapat bahwa pembelajaran ekpositori secara umum, definisi dan rumus diberikan dan dikerjakan oleh guru. Guru memerintahkan, apa yang harus dikerjakan dan bagaimana menyimpulkan. Contoh-contoh soal diberikan, kemudian diberi latihan soal. Pola pengerjaan guru diikuti secara teliti oleh siswa. Siswa hanya sekedar menirukan cara penyelesaian yang dikerjakan guru. Kemudian guru memberikan waktu sedikit kepada siswa untuk tanya jawab mengenai penyelesaian masalah yang dikerjakan oleh guru. Sanjaya (2008) menyatakan beberapa langkah-langkah dalam penerapan pembelajaran ekspositori adalah persiapan, penyajian, menghubungkan, menyimpulkan dan penerapan.
Menurut Philip R. Wallace (1992: 13) Pendekatan pembelajaran dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang konservatif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi murid-muridnya.
b. Perhatian kepada masing-masing individu atau minat siswa sangat kecil.
c. Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
d. Penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolok ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa diabaikan.
Menurut Ujang Sukandi (2003) mendeskripsikan bahwa Pendekatan konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di sini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-transfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Institute of Computer Technology (2006:10) menyebutnya dengan istilah “Pengajaran tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk:
a. Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
b. Menyampaikan informasi dengan cepat.
c. Membangkitkan minat akan informasi.
d. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut:
a. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
b. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari.
c. Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.
d. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat pribadi.
Proses pembelajaran dalam pendekatan konvensional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) lebih berpusat guru; (b) fokus pembelajaran lebih pada struktur dan format bahasanya (ilmu bahasa); (c) Guru berbicara, siswa mendengarkan; (d) para siswa melakukan kegiatan sendiri; (e) Guru selalu memonitor dan mengoreksi tiap-tiap ucapan siswa; (f) guru menjawab pertanyaan para siswa tentang (ilmu) bahasa; (g) guru yang menentukan topik atau tema pembelajaran; (h) guru menilai hasil belajar siswa; dan (i) kelas tenang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih banyak menggunakan ceramah dan demonstrasi, dan materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang cenderung tradisional atau konvensional berdasarkan uraian di atas adalah pendekatan ekspositori. Menurut Gerlach dan Ely (1980) bahwa pendekatan ekspositori merupakan pendekatan yang cenderung tradisional yaitu pengajar menyampaikan informasi kepada anak didik. Dalam kaitannya dengan ini, sumber-sumber informasi yang digunakan guru adalah buku teks, bahan-bahan lain sebagai referensi serta pengalaman guru. Adapun tenkin yang sering digunakan guru dalam pendekatan pembelajaran ini yaitu teknik ceramah, kadang-kadang diskusi, penampilan gambar-gambar dan mendengarkan tanggapan guru. Hudojo (2005) berpendapat bahwa pembelajaran ekpositori secara umum, definisi dan rumus diberikan dan dikerjakan oleh guru. Guru memerintahkan, apa yang harus dikerjakan dan bagaimana menyimpulkan. Contoh-contoh soal diberikan, kemudian diberi latihan soal. Pola pengerjaan guru diikuti secara teliti oleh siswa. Siswa hanya sekedar menirukan cara penyelesaian yang dikerjakan guru. Kemudian guru memberikan waktu sedikit kepada siswa untuk tanya jawab mengenai penyelesaian masalah yang dikerjakan oleh guru. Sanjaya (2008) menyatakan beberapa langkah-langkah dalam penerapan pembelajaran ekspositori adalah persiapan, penyajian, menghubungkan, menyimpulkan dan penerapan.
Selasa, 05 April 2011
Locus of control
Locus of control
Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran sosial. Menurut Rotter (dalam Jung, 1978) mengatakan bahwa pada dasarnya konsep locus of control menunjukkan pada keyakinan atau harapan-harapan individu mengenai sumber penyebab dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, yaitu kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya dikendalikan oleh kekuatan dari dalam dirinya (internal) atau dari luar dirinya (eksternal). Pendapat ini diperkuat oleh Petri (1980) yang mengatakan bahwa locus of control merupakan konsep yang secara khusus berhubungan dengan harapan individu mengenai kemampuannya untuk mengendalikan penguat yang menyertai pelaku. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian, yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib dirinya. Elly Herliani (2009:47) menyatakan bahwa orientasi locus of control pada satu individu merupakan satu bentuk respon awal yang menjadi dasar dari respon selanjutnya yang merupakan rangkaian kinerja aktifitas individu dalam upaya mencapai suatu tujuan dirinya.
Rotter (Penner dalam Herliani, 2009) berpandangan tentang adanya perilaku yang berupa respon individu terhadap lingkungannya. Jika respon tersebut menguntungkan maka individu mengulang perilaku respon tersebut. Dari hal ini Rotter menyimpulkan bahwa kemungkinan perilaku yang muncul pada seseorang didorong oleh dua faktor, sebagai berikut:
a. Harapan Diri (Personal Expectancy), berupa persepsi individu bahwa satu perilaku menghasilkan keuntungan.
b. Nilai dari keuntungan, yaitu jika individu berharap bahwa perilakunya menghasilkan keuntungan yang berharga baginya, maka perilaku tersebut akan hilang.
Pada faktor yang pertama, yaitu harapan diri, terdapat dua variabel penentunya, yaitu keadaan lingkungan dan dirinya sendiri yang merupakan penyebab tercapainya tujuan. Artinya harapan diri ini berhubungan dengan masalah keyakinan perseptual individu bahwa sesuatu itu dikendalikan oleh dirinya atau oleh faktor di luar dirinya. Jadi pada dasarnya locus of control adalah masalah pikiran atau persepsi individu tentang siapa atau apa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada individu tersebut (Calhoun & Acocella dalam Herliani, 2009).
Locus of control terdiri atas orientasi internal dan orientasi eksternal (Penner dalam Herliani, 2009). Individu yang lebih memiliki orientasi internal merupakan individu yang merespon suatu kejadian yang dihadapi sebagai hal yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, sedang individu dengan orientasi eksternal merespon suatu kejadian yang dihadapi sebagai hal yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar dirinya baik yang berupa keadaan lingkungan (seperti nasib, keberuntungan, kesempatan) maupun kekuasaan orang lain. Bar-tal, Bar-zohar dan Chen (dalam Panjaitan, 1999) menyatakan bahwa siswa yang memiliki locus of control internal cenderung mempunyai sifat yang lebih aktif dalam mencari, mengolah dan memanfaatkan berbagai informasi, serta memiliki keinginan mencapai prestasi yang lebih tinggi. Siswa yang memiliki locus of control internal memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, memiliki kemauan bekerja keras dan memiliki kekhawatiran akan gagal. Sedang menurut (Herliani, 2009:49) individu dengan kecendrungan orientasi eksternal memiliki karakter yang pasif, hal ini dikarenakan sikap mereka dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh situasi atau orang yang berkuasa dan adanya masalah peluang keberuntungan atau nasib. Mereka menganggap kegagalan berasal dari faktor di luar dirinya.
Menurut Crider dalam Primanda (2008:21) perbedaan karateristik antara internal locus of control dengan external locus of control sebagai berikut :
1. Locus of control internal
a. Suka bekerja keras.
b. Memiliki inisiatif yang tinggi.
c. Selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah.
d. Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin.
e. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil.
2. Locus of control eksternal
a. Kurang memiliki inisiatif.
b. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan.
c. Kurang suka berusaha, karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol.
d. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah.
Pada orang-orang yang memiliki internal locus of control faktor kemampuan dan usaha terlihat dominan, oleh karena itu apabila individu dengan internal locus of control mengalami kagagalan mereka akan menyalahkan dirinya sendiri karena kurangnya usaha yang dilakukan. Begitu pula dengan keberhasilan, mereka akan merasa bangga atas hasil usahanya. Hal ini akan membawa pengaruh untuk tindakan selanjutnya di masa akan datang bahwa mereka akan mencapai keberhasilan apabila berusaha keras dengan segala kemampuannya. Sebaliknya pada orang yang memiliki locus of control eksternal melihat keberhasilan dan kegagalan dari faktor kesukaran dan nasib, oleh karena itu apabila mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi penyebabnya. Hal itu tentunya berpengaruh terhadap tindakan dimasa datang, karena merasa tidak mampu dan kurang usahanya maka mereka tidak mempunyai harapan untuk memperbaiki kegagalan tersebut.
Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinium dari internal menuju eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar eksternal. Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Disamping itu locus of control tidak bersifat stastis tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus of control dapat berubah menjadi individu yang berorientasi eksternal locus of control dan begitu sebaliknya, hal tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan sering melakukan aktifitasnya.
Sabtu, 02 April 2011
LOGIKA: Silogisme Dan Generalisasi
Logika
Kata logika berasal dari kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran. Secara bahasa logika berarti ilmu berkata atau ilmu berfikir benar. Kebenaran adalah syarat dari tindakan untuk mencapai tujuannya bagi laku perbuatan untuk menunjukan nilai. Logika menuntun pandangan lurus dalam praktek berfikir menuju kebenaran dan menghindarkan budi menempuh jalan yang salah dalam berfikir. Logika merupakan studi dari salah satu pengungkapan kebenaran dan dipakai untuk membedakan argumen yang masuk akal, serta berbagai bentuk argumentasi. Logika dalam kajiannya pada problem formal dan spesifik tentang keteraturan penalaran. Logika berurusan dengan pengetahuan yang bersifat formal apriori. Pengetahuan yang bersifat apriori adalah pengetahuan kebenarannya abstain dari pengalaman melainkan hanya berdasarkan definisi. Dalam logika sangat terkait dengan matematika.
Hukum dalam logika tidak termasuk pengamatan empiris, dan fungsi argumen logis untuk mengantarkan kita kepada kesimpulan yang tidak dapat diperoleh dari sekedar pengamatan. Kita membuat kesimpulan dikarenakan ada hubungan logis antara satu proposisi atau premis lebih dengan proposisi yang lain, kesimpulannya kurang lebih berbentuk bahwa yang kedua pasti benar jika yang pertama benar. Kemudian jika kita mengetahui yang pertama, kita dapat meyatakan yang kedua berdasarkan yang pertama.
Cara berpikir secara logis terbagi dua, yaitu : induktif dan deduktif
Induktif merupakan suatu cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Deduktif adalah suatu cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
A. Silogisme
Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan).
Silogisme terdiri dari ; Silogisme Katagorik, Silogisme Hipotetik dan Silogisme Disyungtif.
a. Silogisme Katagorik
Silogisme Katagorik adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan katagorik. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan dengan premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan diantara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term).
Contoh :
Semua Tanaman membutuhkan air (premis mayor)
……………….M……………..P
Akasia adalah Tanaman (premis minor)
….S……………………..M
Akasia membutuhkan air (konklusi)
….S……………..P
(S = Subjek, P = Predikat, dan M = Middle term)
- Hukum-hukum Silogisme Katagorik
Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus parti¬kular juga, seperti:
Semua yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian makanan tidak menyehatkan,
Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan tidak boleh: Semua makanan tidak halal
dimakan).
Apabila salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif juga, seperti:
Semua korupsi tidak disenangi.
Sebagian pejabat adalah korupsi, jadi
Sebagian pejabat tidak disenangi.
(Kesimpulan tidak boleh: Sebagian pejabat disenangi)
Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah diambil kesimpulan.
Beberapa politikus tidak jujur.
Banyak cendekiawan adalah politikus, jadi:
Banyak cendekiawan tidak jujur.
Jadi: Beberapa pedagang adalah kikir. Kesimpulan yang diturunkan
dari premis partikular tidak pernah menghasilkan kebenaran yang pasti, oleh karena itu kesimpulan seperti:
Sebagian besar pelaut dapat menganyam tali secara bai
Hasan adalah pelaut, jadi:
Kemungkinan besar Hasan dapat menganyam tali secara baik
adalah tidak sah.
Sembilan puluh persen pedagang pasar Johar juju Kumar adalah pedagang pasar Johar, jadi: Sembilan puluh persen Kumar adalah jujur
1) Dari dua premis yang sama-sama negatit, lidak men kesimpulan apa pun, karena tidak ada mata rantai ya hubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpul diambil bila sedikitnya salah satu premisnya positif. Kesimpulan yang ditarik dari dua premis negatif adalah tidak sah.
Kerbau bukan bunga mawar.
Kucing bukan bunga mawar.
….. (Tidak ada kesimpulan) Tidak satu pun drama yang baik mudah dipertunjukk Tidak satu pun drama Shakespeare mudah dipertunju Jadi: Semua drama Shakespeare adalah baik. (Kesimpulan tidak sah)
2) Paling tidak salah satu dari term penengah haru: (mencakup). Dari dua premis yang term penengahnya tidak ten menghasilkan kesimpulan yang salah, seperti:
Semua ikan berdarah dingin.
Binatang ini berdarah dingin
Jadi: Binatang ini adalah ikan.
(Padahal bisa juga binatang melata)
3) Term-predikat dalam kesimpulan harus konsisten dengan term redikat yang ada pada premisnya. Bila tidak, kesimpulan lenjadi salah, seperti
Kerbau adalah binatang.
Kambing bukan kerbau.
Jadi: Kambing bukan binatang.
(‘Binatang’ pada konklusi merupakan term negatif sedang-
kan pada premis adalah positif)
4) Term penengah harus bermakna sama, baik dalam premis layor maupun premis minor. Bila term penengah bermakna mda kesimpulan menjadi lain, seperti:
Bulan itu bersinar di langit.
Januari adalah bulan.
Jadi: Januari bersinar di langit.
(Bulan pada premis minor adalah nama dari ukuran waktu
yang panjangnya 31 hari, sedangkan pada premis mayor
berarti planet yang mengelilingi bumi).
5) Silogisme harus terdiri tiga term, yaitu term subjek, preidkat, dan term menengah ( middle term ), begitu juga jika terdiri dari dua atau lebih dari tiga term tidak bisa diturunkan komklsinya.
- Absah dan Benar
Dalam membicarakan silogisme mengenal dua istilah yaitu absah dan benar.
Absah (valid) berkaitan dengan prosedur penyimpi apakah pengambilan konklusi sesuai dengan patokan atau tidak. Dikatakan valid apabila sesuai dengan patokan di atas dan dan tidak valid bila sebaliknya.
Benar berkaitan dengan proposisi dalam silogisme itu, 2 didukung atau sesuai dengan fakta atau tidak. Bila sesuai fakta, proposisi itu benar, bila tidak ia salah.
Keabsahan dan kebenaran dalam silogisme merupakan satuan yang tidak bisa dipisahkan, untuk mendapatkan yang sah dan benar. Hanya konklusi dari premis yang benar prosedur yang sah konklusi itu dapat diakui. Mengapa demikian Karena bisa terjadi: dari premis salah dan prosedur valid menghasilkan konklusi yang benar, demikian juga dari premis salah dan prosedur invalid dihasilkan konklusi benar.
Variasi-variasinya adalah sebagai berikut:
1. Prosedur valid, premis salah dan konklusi benar.
Semua yang baik itu haram. (salah)
Semua yang memabukkan itu baik. (salah)
Jadi: Semua yang memabukkan itu haram. (benar)
2. Prosedur invalid (tak sah) premis benar konklusi salah
Plato adalah filosof. (benar)
Aristoteles bukan Plato. (benar)
Jadi: Aristoteles bukan filosof (salah)
3. Prosedur invalid, premis salah konklusi benar.
Sebagian politikus adalah tetumbuhan. (salah)
Sebagian manusia adalah tetumbuhan. (salah)
Jadi: Sebagian manusia adalah politikus (benar)
4. Prosedur valid premis salah dan konklusi salah.
Semua yang keras tidak berguna. (salah)
Adonan roti adalah keras. (salah)
Jadi: Adonan roti tidak berguna (salah)
b. Silogisme Hipotetik
Silogisme Hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik.
Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotetik:
1. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.
2. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.
3. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka
kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa,
Jadi kegelisahan tidak akan timbul.
4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah.
Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.
Hukum-hukum Silogisme Hipotetik
Mengambil konklusi dari silogisme hipotetik jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting di sini dalah menentukan ‘kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.
Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen .engan B, jadwal hukum silogisme hipotetik adalah:
1) Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2) Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3) Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana.
Kebenaran hukum di atas menjadi jelas dengan penyelidikan
berikut:
Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan membubung tinggi.( benar = terlaksana)
Benar karena mempunyai hubungan yang diakui kebenarannya
Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan tidak membubung tinggi (tidak sah = salah)
Tidak sah karena kenaikan harga bahan makanan bisa disebabkan oleh sebab atau faktor lain.
c. Silogisme Disyungtif
Silogisme Disyungtif adalah silogisme yang premis mayornya keputusan disyungtif sedangkan premis minornya kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.
Seperti pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara analog bukan yang semestinya.
Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti
sempit dan silogisme disyungtif dalam arti luas. Silogisme disyungtif
dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif kontradiktif,
seperti:
la lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus, jadi
la bukan tidak lulus.
Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:
Hasan di rumah atau di pasar.
Ternyata tidak di rumah.
Jadi di pasar.
Silogisme disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe yaitu:
1) Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain, seperti:
la berada di luar atau di dalam.
Ternyata tidak berada di luar.
Jadi ia berada di dalam.
Ia berada di luar atau di dalam.
temyata tidak berada di dalam.
Jadi ia berada di luar.
2) Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari alternatif yang lain, seperti:
Budi di masjid atau di sekolah.
la berada di masjid.
Jadi ia tidak berada di sekolah.
Budi di masjid atau di sekolah.
la berada di sekolah.
Jadi ia tidak berada di masjid.
Hukum-hukum Silogisme Disyungtif
1. Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid, seperti :
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata berbaju putih.
Jadi ia bukan tidak berbaju putih.
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata ia tidak berbaju putih.
Jadi ia berbaju non-putih.
2. Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran koi adalah sebagai berikut:
a. Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar), seperti:
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah guru.
Jadi bukan pelaut
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah pelaut.
Jadi bukan guru
b. Bila premis minor mengingkari salah satu a konklusinya tidak sah (salah), seperti:
Penjahat itu lari ke Solo atau ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Jadi ia lari ke Solo. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).
Budi menjadi guru atau pelaut.
Ternyata ia bukan pelaut.
Jadi ia guru. (Bisa j’adi ia seorang pedagang).
2.3. Generalisasi
Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum yang mengikat selutuh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki.
Macam-macam Generalisasi :
(1) Generalisasi sempurna adalah generalisasi di mana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Misalnya setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun Masehi kemudian disimpulkan bahwa:
Semua bulan Masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31.
Dalam penyim¬pulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita tinggalkan.
Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan amat kuat
dan tidak dapat diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan
tidak ekonomis.
(2) Generalisasi tidak sempurna yaitu generalisasi berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Misalnya setelah kita menyelidiki sebagian bangsa Indonesia bahwa mereka adalah manusia yang suka bergotong-royong, kemu¬dian kita simpulkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah generalisasi tidak sempurna.
Langganan:
Postingan (Atom)