KEBERSAMAAN

KEBERSAMAAN

Rabu, 13 April 2011

Kalkulator dan Logika Anak

Alat bantu belajar bernama kalkulator memang meringankan tugas siswa sekolah. Tetapi apabila selalu menggantungkan alat tersebut dalam setiap menyelesaikan soal-soal matematika, justru akan merusak kemandirian anak dalam berhitung. Pada gilirannya, mereka terbiasa dengan output dan input, tanpa memahami proses demi proses terjadinya keduanya.
MEMANG, kalkulator bisa membuat siswa sekolah menyenangi matematika. Mereka yang takut, gugup, atau pusing ketika mengerjakan soal matematika merasa terbantu saat menggunakan kalkulator, sehingga menjadi lebih bersemangat. Dengan demikian, pada satu sisi, kalkulator harus dipandang sebagai kontributor signifikan bagi apresiasi matematika itu sendiri.
Matematikawan asal Malaysia, Prof Dr Noraini Idris, pun berpendapat kalkulator memungkinkan mata pelajaran matematika kian menarik karena adanya dorongan interaksi untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut dia, penggunaan kalkulator memberi kesempatan lebih beragam kepada anak untuk berinteraksi. Sebab mereka punya waktu ketika menggunakannya untuk menyelesaikan soal matematika ketimbang jika melakukan perhitungan secara manual. Tetapi bukan berarti kalkulator harus digunakan setiap saat. Soal simpel saja harus dilakukan dengan kalkulator. Ini sudah ketergantungan namanya, dan sangat berbahaya bagi logika masa depan si anak.
Kalkulator harus diposisikan sebagai perangsang saja, untuk mengurangi beban psikologis atau meningkatkan motivasi belajar. Kalau tekanan psikologis sudah berkurang, atau motivasi belajar sudah muncul, mulailah secara perlahan untuk mengurangi atau mengendalikan penggunaannya. Tidak perlu drastis. Mulanya sembilan dari sepuluh soal dibiarkan untuk diselesaikan dengan kalkulator. Sisanya secara manual. Tahap selanjutnya dikurangi lagi satu. Begitu seterusnya, sampai anak benar-benar siap melepas ketergantungan terhadap kalkulator. Kalau perlu tantang mereka, ’’Masak kalah dengan kalkulator’’, atau ’’Malu dong kalau pakai kalkulator terus’’. Pokoknya berikan kesan kepada anak, bahwa otak manusia harus bisa mengalahkan kalkulator.
Memahami Proses
Dengan kalkulator, anak sekolah terutama siswa-siswi SD memang bisa saja menghitung perkalian dua bilangan besar, bahkan sampai jutaan. Tetapi apa mereka memahami proses yang terjadi di belakang layar itu? Padahal proses itulah yang kelak menjadi sangat penting bagi tumbuhnya pola berpikir tuntas, detail, dan integratif untuk berbagai persoalan. Misalkan diminta menghitung perkalian 4,5 x 1,5, si anak akan menjawab 6,75 sesuai dengan apa yang tertulis pada layar kalkulator. Namun, apakah dia tahu dari mana angka tersebut berasal?
Menurut pakar pendidikan Prof Dr Arief Rachman, ada bidang matematika yang tidak boleh dipelajari dengan bantuan kalkulator. Misalnya perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. ’’Materi ini dimaksudkan untuk melatih logika anak dalam berhitung. Jika diberi bantuan kalkulator, anak tidak akan bisa memahaminya dengan baik,’’ kata Arief.
Ketergantungan anak pada kalkulator bisa menghambat sikap kritis, aktif, dan kreatif. Akhirnya tercetaklah sosok manusia berwawasan klise dalam berucap, bertindak, dan berbuat. Apa mungkin jiwa pelopor muncul pada mereka?
Adanya pertalian antarsimbol hitungan, yang seharusnya bisa menghasilkan rumusan khas, tetapi berhubung sejak awal pola belajar sudah seperti itu, maka pengungkapannya masih terasa referensial. Belum bersifat analisis atau sintensis hasil pemikiran original.
Jangka Panjang
Bagaimana pun canggih kalkulator, kemampuan berhitung anak baru dapat dikatakan modern kalau proses dan hasilnya mencerminkan kemampuannya menghadapi situasi-kondisi yang berbeda secara mandiri, sehingga mampu merumuskan jalan keluar atas setiap permasalahan. Kini timbul kesan seakan-akan berhitung secara manual memboroskan waktu. Padahal ketergantungan kepada kalkulator justru memunculkan beragam inefisiensi, misalnya terkurasnya waktu untuk mengasah otak, meski hal itu baru dirasakan dalam jangka panjang.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak orang tua menjauhkan anak dari kalkulator. Tetapi bagaimana menempatkannya secara proporsional melalui approach education. Jika anak sedang sakit kepala, kemudian harus mengerjakan soal matematika yang ditugaskan sekolah, tidak salah jika dibantu dengan kalkulator. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Sketsa di atas sekadar melukiskan, kandungan pengetahuan dalam proses jauh lebih penting ketimbang sekadar output-input. Walaupun belum merupakan barang siap pakai, ia bisa menjadi sumber referensi yang dahsyat untuk berkreasi, berimprovisasi, atau berinovasi. (Nasrullah Idris, dari Reformasi Sains Matematika Teknologi Bandung-32)
Sumber: suaramerdeka.com

1 komentar:

  1. Terima kasih ya sudah memuat tulisan saya

    Wasalam,

    Nasrullah Idris
    http://www.facebook.com/nasrullahidris.jawabarat
    http://mathematics-without-alphabetic.blogspot.com/

    BalasHapus