Pendidikan merupakan upaya manusia untuk memperluas pengetahuan dalam rangka membentuk nilai, sikap dan perilaku. Setiap manusia membutuhkan pendidikan sampai kapanpun dan di manapun ia berada. Manusia akan sulit berkembang bahkan terbelakang tanpa adanya pendidikan. Dengan demikian pendidikan harus diarahkan untuk membentuk manusia yang berkualitas, mampu bersaing, memiliki budi pekerti yang luhur dan bermoral yang baik.
Secara umum, efektivitas menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Dari pengertian efektivitas tersebut dapat kita simpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.
Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu tidak terlepas kaitannya dengan pendidikan terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memegang peranan penting. Mengingat pentingnya matematika dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, maka matematika perlu dikuasai dan dipahami dengan baik oleh segenap lapisan masyarakat, terutama siswa sekolah formal. Matematika juga sangat penting sebagai pembimbing pola pikir maupun sebagai pembentuk sikap”. Oleh sebab itu salah satu tugas guru adalah untuk mendorong siswa agar dapat belajar matematika dengan baik.
Dalam hal ini, sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal mempunyai tanggung jawab dan wewenang untuk malaksanakan proses pembelajaran. Namun pencapai tujuan pembelajaran sangat tergantung pada proses pembelajaran. Pemilihan metode dan media yang tepat disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik materi yang diajarkan.
Dalam hal ini, Winarko mengemukakan dalam bukunya “metode adalah cara yang dalam fungsinya merupakan baik guru maupun siswa”. Salah satu cara meningkatkan motivasi siswa terhadap matematika adalah penggunaan media pembelajaran. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan adalah komputer sebagai media yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Komputer dapat digunakan sebagai alat bantu dalam menyiapkan bahan ajar maupun dalam proses pembelajaran agar lebih efektif dan efisien. Software dalam komputer yang digunakan dalam pengembangan media pembelajaran ini adalah software matematika lingkaran ( the geometer sketchpad ). Program ini dapat menampilkan informasi yang berupa tulisan, gambar, serta menghitung lingkaran sehingga siswa dapat lebih tertarik dalam mengikuti pelajaran matematika.
Seiring dengan perkembangan zaman, media pendidikan terus berkembang. Selain media pendidikan matematika tersebut, sekarang juga digunakan media pendidikan berupa komputer. Tim Penelitian dan Pengembangan Wahana Komputer mendefinisikan “Komputer adalah suatu peralatan elektronik yang dapat menerima input, mengolah input, memberi informasi, menggunakan sutau program yang tersimpan dalam memori komputer, dapat menyimpan program dan hasil pengolahan, serta bekerja secara otomatis”.
Penggunaan komputer dalam pembelajaran sering dikenal dengan multimedia. Multimedia bukanlah hal baru di dunia pendidikan. Multimedia merupakan penggunaan komputer untuk menampilkan tulisan, gambar, video, animasi dan suara menjadi satu kesatuan yang utuh”. Untuk menampilkan tulisan, grafik, video, animasi dan suara biasanya menggunakan software. Software adalah perangkat lunak dari sebuah komputer untuk membantu pengaplikasian.
Lingkaran adalah himpunan semua titik pada bidang dalam jarak tertentu, yang disebut jari-jari, dari suatu titik tertentu, yang disebut pusat. Materi lingkaran merupakan materi matematika yang membahas tentang titik pusat, jari-jari, tali busur, busur, keliling, diameter, juring, tembereng, cakram yang berupa elemen titik, garisan, luasan dan persamaan lingkaran dan proses-proses yang melibatkan titik, garis, luas, dan persamaan lingkaran tersebut.
Secara umum, kesulitan siswa dalam mempelajari materi lingkaran meliputi kesulitan dalam memahami unsur-unsur pada suatu lingkaran. Siswa selama ini hanya membayangkan proses-proses tersebut tanpa dapat melihat dan merasakan langsung proses-proses yang termasuk dalam materi lingkaran tersebut. Bahkan dengan ketertarikan siswa yang tinggi untuk mempelajari materi lingkaran ini, tetap saja ketuntasan belajar siswa menjadi hal yang sulit dicapai sepenuhnya.
Penyelesaian dalam masalah ini terletak pada pemilihan model pembelajaran dan media pembelajaran yang tepat. Untuk materi lingkaran ini, salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk memaksimalkan penyampaian materi adalah dengan menggunakan media komputer. Teknologi ini dapat digunakan untuk menampilkan gambar-gambar dan proses-proses rumit yang terdapat dalam materi lingkaran. Untuk mendukung pembelajaran menggunakan media komputer ini, guru dan siswa harus melaksanakan sejumlah aktifitas yang mendukung proses pembelajaran pada materi lingkaran.
Belajar matematika dengan penalaran, penalaran akan terlatih dengan belajar matematika
KEBERSAMAAN
Jumat, 21 Oktober 2011
Jumat, 15 Juli 2011
Hubungan antara Filsafat dan Matematika?
Matematika dan filsafat mempunyai sejarah keterikatan satu dengan yang lain sejak jaman Yunani Kuno. Matematika di samping merupakan sumber dan inspirasi bagi para filsuf, metodenya juga banyak diadopsi untuk mendeskripsikan pemikiran filsafat. Kita bahkan mengenal beberapa matematikawan yang sekaligus sebagai sorang filsuf, misalnya Descartes, Leibniz, Bolzano, Dedekind, Frege, Brouwer, Hilbert, G¨odel, and Weyl. Pada abad terakhir di mana logika yang merupakan kajian sekaligus pondasi matematika menjadi bahan kajian penting baik oleh para matematikawan maupun oleh para filsuf. Logika matematika mempunyai peranan hingga sampai era filsafat kontemporer di mana banyak para filsuf kemudian mempelajari logika. Logika matematika telah memberi inspirasi kepada pemikiran filsuf, kemudian para filsuf juga berusaha mengembangkan pemikiran logika misalnya “logika modal”, yang kemudian dikembangkan lagi oleh para matematikawan dan bermanfaat bagi pengembangan program komputer dan analisis bahasa. Salah satu titik krusial yang menjadi masalah bersama oleh matematika maupun filsafat misalnya persoalan pondasi matematika. Baik matematikawan maupun para filsuf bersama-sama berkepentingan untuk menelaah apakah ada pondasi matematika? Jika ada apakah pondasi itu bersifat tunggal atau jamak? Jika bersifat tunggal maka apakah pondasi itu? Jika bersifat jamak maka bagaimana kita tahu bahwa satu atau beberapa diantaranya lebih utama atau tidak lebih utama sebagai pondasi? Pada abad 20, Cantor diteruskan oleh Sir Bertrand Russell, mengembangkan teori himpunan dan teori tipe, dengan maksud untuk menggunakannya sebagai pondasi matematika. Namun kajian filsafat telah mendapatkan bahwa di sini terdapat paradoks atau inkonsistensi yang kemudian membangkitkan kembali motivasi matematikawan di dalam menemukan hakekat dari sistem matematika.
Dengan teori ketidak-lengkapan, akhirnya Godel menyimpulkan bahwa suatu sistem matematika jika dia lengkap maka pastilah tidak akan konsisten; tetapi jika dia konsisten maka dia patilah tidak akan lengkap. Hakekat dari kebenaran secara bersama dipelajari secara intensif baik oleh filsafat maupun matematika. Kajian nilai kebenaran secara intensif dipelajari oleh bidang epistemologi dan filsafat bahasa. Di dalam matematika, melalui logika formal, nilai kebenaran juga dipelajari secara intensif. Kripke, S. dan Feferman (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) telah merevisi teori tentang nilai kebenaran; dan pada karyanya ini maka matematika dan filsafat menghadapi masalah bersama. Di lain pihak, pada salah satu kajian filsafat, yaitu epistemologi, dikembangkan pula epistemologi formal yang menggunakan pendekatan formal sebagai kegiatan riset filsafat yang menggunakan inferensi sebagai sebagai metode utama. Inferensi demikian tidak lain tidak bukan merupakan logika formal yang dapat dikaitkan dengan teori permainan, pengambilan keputusan, dasar komputer dan teori kemungkinan.
Para matematikawan dan para filsuf secara bersama-sama masih terlibat di dalam perdebatan mengenai peran intuisi di dalam pemahaman matematika dan pemahaman ilmu pada umumnya. Terdapat langkah-langkah di dalam metode matematika yang tidak dapat diterima oleh seorang intuisionis. Seorang intuisionis tidak dapat menerima aturan logika bahwa kalimat “a atau b” bernilai benar untuk a bernilai benar dan b bernilai benar. Seorang intuisionis juga tidak bisa menerima pembuktian dengan metode membuktikan ketidakbenaran dari ingkarannya. Seorang intuisionis juga tidak dapat menerima bilangan infinit atau tak hingga sebagai bilangan yang bersifat faktual. Menurut seorang intuisionis, bilangan infinit bersifat potensial. Oleh karena itu kaum intuisionis berusaha mengembangkan matematika hanya dengan bilangan yang bersifat finit atau terhingga.
Banyak filsuf telah menggunakan matematika untuk membangun teori pengetahuan dan penalaran yang dihasilkan dengan memanfaatkan bukti-bukti matematika dianggap telah dapat menghasilkan suatu pencapaian yang memuaskan. Matematika telah menjadi sumber inspirasi yang utama bagi para filsuf untuk mengembangkan epistemologi dan metafisik. Dari pemikiran para filsuf yang bersumber pada matematika diantaranya muncul pemikiran atau pertanyaan: Apakah bilangan atau obyek matematika memang betul-betul ada? Jika mereka ada apakah di dalam atau di luar pikiran kita? Jika mereka ada di luar pikiran kita bagaimana kita bisa memahaminya? Jika mereka ada di dalam pikiran kita bagaimana kita bisa membedakan mereka dengan konsep-konsep kita yang lainnya? Bagaimana hubungan antara obyek matematika dengan logika? Pertanyaan tentang “ada” nya obyek matematika merupakan pertanyaan metafisik yang kedudukannya hampir sama dengan pertanyaan tentang keberadaan obyek-obyek lainnya seperti universalitas, sifat-sifat benda, dan nilai-nilai; menurut beberapa filsuf jika obyek-obyek itu ada maka apakah dia terkait dengan ruang dan waktu? Apakah dia bersifat aktual atau potensi? Apakah dia bersifat abstrak? Atau konkrit? Jika kita menerima bahwa obyek matematika bersifat abstrak maka metode atau epistemologi yang bagaimana yang mampu menjelaskan obyek tersebut? Mungkin kita dapat menggunakan bukti untuk menjelaskan obyek-obyek tersebut, tetapi bukti selalu bertumpu kepada aksioma. Pada akhirnya kita akan menjumpai adanya “infinit regress” karena secara filosofis kita masih harus mempertanyakan kebenaran dan keabsahan sebuah aksioma.
Hannes Leitgeb di (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) di “Mathematical Methods in Philosophy” telah menyelidiki penggunaan matematika di filsafat. Dia menyimpulkan bahwa metode matematika mempunyai kedudukan penting di filsafat. Pada taraf tertentu matematika dan filsafat mempunyai persoalan-persoalan bersama. Hannes Leitgeb telah menyelidiki aspek-aspek dalam mana matematika dan filsafat mempunyai derajat yang sama ketika melakukan penelaahan yatitu kesamaan antara obyek, sifat-sifat obyek, logika, sistem-sistem, makna kalimat, hukum sebab-akibat, paradoks, teori permainan dan teori kemungkinan. Para filsuf menggunakan logika sebab-akibat untuk untuk mengetahui implikasi dari konsep atau pemikirannya, bahkan untuk membuktikan kebenaran ungkapan-ungkapannya. Joseph N. Manago (2006) di dalam bukunya “ Mathematical Logic and the Philosophy of God and Man” mendemonstrasikan filsafat menggunakan metode matematika untuk membuktikan Lemma bahwa terdapat beberapa makhluk hidup bersifat “eternal”. Makhluk hidup yang tetap hidup disebut bersifat eternal.
by Marsigit
Dengan teori ketidak-lengkapan, akhirnya Godel menyimpulkan bahwa suatu sistem matematika jika dia lengkap maka pastilah tidak akan konsisten; tetapi jika dia konsisten maka dia patilah tidak akan lengkap. Hakekat dari kebenaran secara bersama dipelajari secara intensif baik oleh filsafat maupun matematika. Kajian nilai kebenaran secara intensif dipelajari oleh bidang epistemologi dan filsafat bahasa. Di dalam matematika, melalui logika formal, nilai kebenaran juga dipelajari secara intensif. Kripke, S. dan Feferman (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) telah merevisi teori tentang nilai kebenaran; dan pada karyanya ini maka matematika dan filsafat menghadapi masalah bersama. Di lain pihak, pada salah satu kajian filsafat, yaitu epistemologi, dikembangkan pula epistemologi formal yang menggunakan pendekatan formal sebagai kegiatan riset filsafat yang menggunakan inferensi sebagai sebagai metode utama. Inferensi demikian tidak lain tidak bukan merupakan logika formal yang dapat dikaitkan dengan teori permainan, pengambilan keputusan, dasar komputer dan teori kemungkinan.
Para matematikawan dan para filsuf secara bersama-sama masih terlibat di dalam perdebatan mengenai peran intuisi di dalam pemahaman matematika dan pemahaman ilmu pada umumnya. Terdapat langkah-langkah di dalam metode matematika yang tidak dapat diterima oleh seorang intuisionis. Seorang intuisionis tidak dapat menerima aturan logika bahwa kalimat “a atau b” bernilai benar untuk a bernilai benar dan b bernilai benar. Seorang intuisionis juga tidak bisa menerima pembuktian dengan metode membuktikan ketidakbenaran dari ingkarannya. Seorang intuisionis juga tidak dapat menerima bilangan infinit atau tak hingga sebagai bilangan yang bersifat faktual. Menurut seorang intuisionis, bilangan infinit bersifat potensial. Oleh karena itu kaum intuisionis berusaha mengembangkan matematika hanya dengan bilangan yang bersifat finit atau terhingga.
Banyak filsuf telah menggunakan matematika untuk membangun teori pengetahuan dan penalaran yang dihasilkan dengan memanfaatkan bukti-bukti matematika dianggap telah dapat menghasilkan suatu pencapaian yang memuaskan. Matematika telah menjadi sumber inspirasi yang utama bagi para filsuf untuk mengembangkan epistemologi dan metafisik. Dari pemikiran para filsuf yang bersumber pada matematika diantaranya muncul pemikiran atau pertanyaan: Apakah bilangan atau obyek matematika memang betul-betul ada? Jika mereka ada apakah di dalam atau di luar pikiran kita? Jika mereka ada di luar pikiran kita bagaimana kita bisa memahaminya? Jika mereka ada di dalam pikiran kita bagaimana kita bisa membedakan mereka dengan konsep-konsep kita yang lainnya? Bagaimana hubungan antara obyek matematika dengan logika? Pertanyaan tentang “ada” nya obyek matematika merupakan pertanyaan metafisik yang kedudukannya hampir sama dengan pertanyaan tentang keberadaan obyek-obyek lainnya seperti universalitas, sifat-sifat benda, dan nilai-nilai; menurut beberapa filsuf jika obyek-obyek itu ada maka apakah dia terkait dengan ruang dan waktu? Apakah dia bersifat aktual atau potensi? Apakah dia bersifat abstrak? Atau konkrit? Jika kita menerima bahwa obyek matematika bersifat abstrak maka metode atau epistemologi yang bagaimana yang mampu menjelaskan obyek tersebut? Mungkin kita dapat menggunakan bukti untuk menjelaskan obyek-obyek tersebut, tetapi bukti selalu bertumpu kepada aksioma. Pada akhirnya kita akan menjumpai adanya “infinit regress” karena secara filosofis kita masih harus mempertanyakan kebenaran dan keabsahan sebuah aksioma.
Hannes Leitgeb di (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) di “Mathematical Methods in Philosophy” telah menyelidiki penggunaan matematika di filsafat. Dia menyimpulkan bahwa metode matematika mempunyai kedudukan penting di filsafat. Pada taraf tertentu matematika dan filsafat mempunyai persoalan-persoalan bersama. Hannes Leitgeb telah menyelidiki aspek-aspek dalam mana matematika dan filsafat mempunyai derajat yang sama ketika melakukan penelaahan yatitu kesamaan antara obyek, sifat-sifat obyek, logika, sistem-sistem, makna kalimat, hukum sebab-akibat, paradoks, teori permainan dan teori kemungkinan. Para filsuf menggunakan logika sebab-akibat untuk untuk mengetahui implikasi dari konsep atau pemikirannya, bahkan untuk membuktikan kebenaran ungkapan-ungkapannya. Joseph N. Manago (2006) di dalam bukunya “ Mathematical Logic and the Philosophy of God and Man” mendemonstrasikan filsafat menggunakan metode matematika untuk membuktikan Lemma bahwa terdapat beberapa makhluk hidup bersifat “eternal”. Makhluk hidup yang tetap hidup disebut bersifat eternal.
by Marsigit
Kamis, 30 Juni 2011
Belajar dengan Enam Topi Berpikir (The Six Thinking Hats)
Salah satu problem yang saya hadapi ketika masih mengajar di kelas 7 sekolah menengah pertama adalah bagaimana mendorong para siswa untuk lebih mendayagunakan high order thinking (pola berpikir tingkat tinggi), di mana mereka benar-benar berpikir dan bukan hanya menghafal atau sekedar tahu informasi (level knowledge dalam taksonomi Bloom). Berdasarkan beberapa referensi, terutama yang ditulis Dr. Edward De Bono, maka saya menggunakan salah satu teknik beliau yang terkenal, yaitu Enam Topi Berpikir (The Six Thinking Hats).
Secara prinsip, teknik ini mendorong siswa untuk berpikir sesuai dengan topi yang dipakai, di mana saya menyediakan enam topi yang berbeda warna yaitu Putih, Kuning, Hitam, Merah, Hijau dan Biru. Saat bertopi putih, siswa diminta mendiskusikan atau mencari informasi dan fakta mengenai topik tersebut. Dengan topi kuning, siswa berpikir dan mendiskusikan apa dampak positif suatu fenomena. Dengan topi hitam, siswa berpikir dan mendiskusikan apa dampak negatif suatu fenomena. Dengan topi merah, siswa mengekspresikan perasaannya terhadap fenomena tersebut. Topi hijau menggerakkan siswa untuk kreatif dan mencari alternatif dalam melihat suatu fenomena. Sedangkan topi biru mendorong siswa membuat suatu kesimpulan. Keenam topi tersebut membuat siswa lebih aktif karena topi mereka menginstruksikan benak para siswa untuk "berperilaku" sesuai wadahnya.
Sebagai contoh, saya menggunakan teknik ini saat membahas tentang tsunami. Saya membagi kelas saya menjadi lima kelompok. Saya juga membuat simbol enam topi di kelas yang saya letakkan secara berkeliling. Pada dasarnya, mereka secara kelompok beraktivitas di kelima simbol topi secara bergantian searah jarum jam per sesinya. Di setiap sesi masing-masing akan melakukan kegiatan sesuai instruksi topinya. Sekuens atau urutan topi tidak harus "urut kacang", tetapi semua topi harus dilewati.
Topi keenam adalah kegiatan whole class, momen di mana seluruh kelompok melakukan refleksi bersama-sama. Peran saya adalah sebagai fasilitator atau konsultan, tempat setiap siswa bertanya bila mereka menemui jalan buntu dalam berkegiatan. Saya tidak memberi jawaban matang, tetapi mengarahkan mereka pada alternatif lain agar proses mandiri tetap berjalan.
Pada sesi pertama, saya secara singkat memberikan gambaran apa Enam Topi Berpikir itu dan memberi instruksi aktivitas keenam kelompok selama enam sesi. Untuk topi putih, saya menyiagakan ruang perpustakaan dan internet di sekolah agar siswa bisa mencari informasi secara mandiri. Keempat topi lainnya dilakukan di dalam kelas. Untuk topi hijau, saya mengisntruksikan siswa merancang maket rumah yang menurut mereka tahan hempasan tsunami atau gempa bumi dengan bahan korek api dan sendok es krim serta bahan tambahan mereka sendiri. Aktivitas ini harus selesai dalam satu sesi (kira-kira 40 menit).
Ketika kegiatan belajar dimulai mulai dari sesi pertama, saya melihat antusiasme yang besar dari para siswa. Mereka tampaknya lebih termotivasi karena tidak cuma duduk dan mendengar di kelas saja. Sebaliknya, mereka harus beradaptasi dan konsisten untuk berpola pikir sesuai topi, yang ternyata tidak mudah. Contohnya, ketika sampai di topi kuning, mereka awalnya kesulitan menemukan dampak positif dari tsunami karena setahu mereka akibat tsunami sangat buruk bagi masyarakat korban. Namun setelah berkonsultasi pada saya sebagai fasilitator, mereka akhirnya girang karena bisa menemukan bahwa bencana tsunami memberikan pelajaran pentingnya memiliki dan menguasai teknologi untuk mengantisipasi bencana alam.
Ketika sampai di topi hijau pun saya melihat gairah yang sama. Para siswa antusias mendiskusikan dan mencoba-coba membuat maket rumah anti tsunami dan gempa bumi. Saya memberi batas waktu untuk pembuatannya sehingga mereka mau tidak mau terpaksa untuk kreatif dan bekerja secara efisien (tidak banyak omong dan bercanda seperti kebiasaan mereka keseharian). Di beberapa topi yang memerlukan konsentrasi penuh misalnya topi putih, kuning dan hitam, saya memasukkan juga unsur musik sebagai pengiring. Saya memilih konser pasif (Adi Gunawan, 2003) dengan iringan musik Barok untuk memberikan atmosfir pendukung agar para siswa lebih fokus berpikir dan berdiskusi. Hasil diskusi mereka ditulis di kertas CD besar dengan spidol berwarna dan ditempelkan di sekeliling dinding kelas agar semua orang di kelas bisa melihat.
Setelah kelima topi selesai dijalani, pada sesi keenam saya melakukan kegiatan topi biru. Saya meminta kelima kelompok untuk berkeliling dan membandingkan hasil penemuan dan pemikiran mereka serta menambahkan apa-apa saja yang tidak mereka temukan atau tidak terpikirkan oleh mereka namun dimiliki kelompok lain. Dengan cara ini, secara tidak sadar sebenarnya para siswa melakukan peer learning, sehingga masing-masing individu siswa mendapatkan content atau isi materi yang dibutuhkan. Setelah selesai, maka masing-masing melakukan semacam refleksi atas apa yang telah dilakukan. Selain memaparkan hasil kegiatan kelima topi, mereka juga mengekspresikan kendala-kendala apa yang mereka alami selama proses serta cara mereka menghadapinya.
Secara umum saya bisa menyimpulkan bahwa dengan mempergunakan kerangka Enam Topi Berpikir, para siswa mendapatkan pengalaman belajar lebih. "Lebih" karena pada dasarnya content atau materi sesuai kurikulum relatif didapatkan siswa mendekati "yang seharusnya". Ini memberi jawaban pada kritik rekan-rekan guru saya yang mengatakan bahwa kegiatan belajar selain klasik/ceramah tidak akan memberi siswa content yang seharusnya dikuasai siswa guna menghadapi UNAS kelak. Selain mendapatkan materi UNAS, para siswa mendapatkan pengalaman untuk berpikir lebih dalam terhadap sesuatu dan juga memiliki life skill untuk mencari tahu atas apa yang ia ingin tahu secara mandiri (learn how to learn). Selain itu, yang saya lihat, sebagian besar siswa cenderung termotivasi, aktif, dan tidak punya waktu untuk bermain-main tanpa alasan yang jelas.
Yang menjadi kendala adalah kegiatan belajar dengan model constructivist seperti Enam Topi Berpikir ini membutuhkan waktu dalam persiapannya. Guru harus mempersiapkan kerangka kegiatan dengan matang, serta memberikan alternatif sumber belajar yang bervariasi. Untuk sekolah dengan akses internet terbatas dan perpustakaan kurang memadai, mungkin ini menjadi kendala. Namun, yang penting menurut pengalaman saya adalah kreatifitas dan keinginan untuk memberi yang terbaik pada anak didik. Karena merekalah generasi penerus kita di masa depan yang akan menentukan masa depan negeri ini. Kalau generasi kita tidak terbiasa berpikir kritis dan mandiri, saya tidak bisa membayangkan seperti apa negeri ini di masa depan. Jadi, kenapa takut mencoba?
Secara prinsip, teknik ini mendorong siswa untuk berpikir sesuai dengan topi yang dipakai, di mana saya menyediakan enam topi yang berbeda warna yaitu Putih, Kuning, Hitam, Merah, Hijau dan Biru. Saat bertopi putih, siswa diminta mendiskusikan atau mencari informasi dan fakta mengenai topik tersebut. Dengan topi kuning, siswa berpikir dan mendiskusikan apa dampak positif suatu fenomena. Dengan topi hitam, siswa berpikir dan mendiskusikan apa dampak negatif suatu fenomena. Dengan topi merah, siswa mengekspresikan perasaannya terhadap fenomena tersebut. Topi hijau menggerakkan siswa untuk kreatif dan mencari alternatif dalam melihat suatu fenomena. Sedangkan topi biru mendorong siswa membuat suatu kesimpulan. Keenam topi tersebut membuat siswa lebih aktif karena topi mereka menginstruksikan benak para siswa untuk "berperilaku" sesuai wadahnya.
Sebagai contoh, saya menggunakan teknik ini saat membahas tentang tsunami. Saya membagi kelas saya menjadi lima kelompok. Saya juga membuat simbol enam topi di kelas yang saya letakkan secara berkeliling. Pada dasarnya, mereka secara kelompok beraktivitas di kelima simbol topi secara bergantian searah jarum jam per sesinya. Di setiap sesi masing-masing akan melakukan kegiatan sesuai instruksi topinya. Sekuens atau urutan topi tidak harus "urut kacang", tetapi semua topi harus dilewati.
Topi keenam adalah kegiatan whole class, momen di mana seluruh kelompok melakukan refleksi bersama-sama. Peran saya adalah sebagai fasilitator atau konsultan, tempat setiap siswa bertanya bila mereka menemui jalan buntu dalam berkegiatan. Saya tidak memberi jawaban matang, tetapi mengarahkan mereka pada alternatif lain agar proses mandiri tetap berjalan.
Pada sesi pertama, saya secara singkat memberikan gambaran apa Enam Topi Berpikir itu dan memberi instruksi aktivitas keenam kelompok selama enam sesi. Untuk topi putih, saya menyiagakan ruang perpustakaan dan internet di sekolah agar siswa bisa mencari informasi secara mandiri. Keempat topi lainnya dilakukan di dalam kelas. Untuk topi hijau, saya mengisntruksikan siswa merancang maket rumah yang menurut mereka tahan hempasan tsunami atau gempa bumi dengan bahan korek api dan sendok es krim serta bahan tambahan mereka sendiri. Aktivitas ini harus selesai dalam satu sesi (kira-kira 40 menit).
Ketika kegiatan belajar dimulai mulai dari sesi pertama, saya melihat antusiasme yang besar dari para siswa. Mereka tampaknya lebih termotivasi karena tidak cuma duduk dan mendengar di kelas saja. Sebaliknya, mereka harus beradaptasi dan konsisten untuk berpola pikir sesuai topi, yang ternyata tidak mudah. Contohnya, ketika sampai di topi kuning, mereka awalnya kesulitan menemukan dampak positif dari tsunami karena setahu mereka akibat tsunami sangat buruk bagi masyarakat korban. Namun setelah berkonsultasi pada saya sebagai fasilitator, mereka akhirnya girang karena bisa menemukan bahwa bencana tsunami memberikan pelajaran pentingnya memiliki dan menguasai teknologi untuk mengantisipasi bencana alam.
Ketika sampai di topi hijau pun saya melihat gairah yang sama. Para siswa antusias mendiskusikan dan mencoba-coba membuat maket rumah anti tsunami dan gempa bumi. Saya memberi batas waktu untuk pembuatannya sehingga mereka mau tidak mau terpaksa untuk kreatif dan bekerja secara efisien (tidak banyak omong dan bercanda seperti kebiasaan mereka keseharian). Di beberapa topi yang memerlukan konsentrasi penuh misalnya topi putih, kuning dan hitam, saya memasukkan juga unsur musik sebagai pengiring. Saya memilih konser pasif (Adi Gunawan, 2003) dengan iringan musik Barok untuk memberikan atmosfir pendukung agar para siswa lebih fokus berpikir dan berdiskusi. Hasil diskusi mereka ditulis di kertas CD besar dengan spidol berwarna dan ditempelkan di sekeliling dinding kelas agar semua orang di kelas bisa melihat.
Setelah kelima topi selesai dijalani, pada sesi keenam saya melakukan kegiatan topi biru. Saya meminta kelima kelompok untuk berkeliling dan membandingkan hasil penemuan dan pemikiran mereka serta menambahkan apa-apa saja yang tidak mereka temukan atau tidak terpikirkan oleh mereka namun dimiliki kelompok lain. Dengan cara ini, secara tidak sadar sebenarnya para siswa melakukan peer learning, sehingga masing-masing individu siswa mendapatkan content atau isi materi yang dibutuhkan. Setelah selesai, maka masing-masing melakukan semacam refleksi atas apa yang telah dilakukan. Selain memaparkan hasil kegiatan kelima topi, mereka juga mengekspresikan kendala-kendala apa yang mereka alami selama proses serta cara mereka menghadapinya.
Secara umum saya bisa menyimpulkan bahwa dengan mempergunakan kerangka Enam Topi Berpikir, para siswa mendapatkan pengalaman belajar lebih. "Lebih" karena pada dasarnya content atau materi sesuai kurikulum relatif didapatkan siswa mendekati "yang seharusnya". Ini memberi jawaban pada kritik rekan-rekan guru saya yang mengatakan bahwa kegiatan belajar selain klasik/ceramah tidak akan memberi siswa content yang seharusnya dikuasai siswa guna menghadapi UNAS kelak. Selain mendapatkan materi UNAS, para siswa mendapatkan pengalaman untuk berpikir lebih dalam terhadap sesuatu dan juga memiliki life skill untuk mencari tahu atas apa yang ia ingin tahu secara mandiri (learn how to learn). Selain itu, yang saya lihat, sebagian besar siswa cenderung termotivasi, aktif, dan tidak punya waktu untuk bermain-main tanpa alasan yang jelas.
Yang menjadi kendala adalah kegiatan belajar dengan model constructivist seperti Enam Topi Berpikir ini membutuhkan waktu dalam persiapannya. Guru harus mempersiapkan kerangka kegiatan dengan matang, serta memberikan alternatif sumber belajar yang bervariasi. Untuk sekolah dengan akses internet terbatas dan perpustakaan kurang memadai, mungkin ini menjadi kendala. Namun, yang penting menurut pengalaman saya adalah kreatifitas dan keinginan untuk memberi yang terbaik pada anak didik. Karena merekalah generasi penerus kita di masa depan yang akan menentukan masa depan negeri ini. Kalau generasi kita tidak terbiasa berpikir kritis dan mandiri, saya tidak bisa membayangkan seperti apa negeri ini di masa depan. Jadi, kenapa takut mencoba?
Rabu, 08 Juni 2011
STRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Sudjana(1989) menyatakan “Bahwa strategi mengajar (pengajaran) adalah taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar agar dapat mempengaruhi para siswa (peserta didik) mencapai tujuan pengajaran secara lebih efektif dan efisien”. Sejalan dengan itu Fathurrohman dan Sutikno (2007) menyatakan:”Adapun strategi belajar mengajar bisa diartikan sebagai pola umum kegiatan guru-murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Atau dengan kata lain, strategi mengajar adalah sejumlah langkah yang direkayasa sedemikian rupa mencapai tujuan pengajaran tertentu”.
Untuk melaksanakan tugas secara profesional, guru memerlukan wawasan yang mantap tentang kemungkinan strategi belajar mengajar yang diterapkan sesuai dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan. Menurut Mansyur (1991), batasan belajar mengajar yang bersifat umum mempunyai empat dasar strategi, yakni: (1) mengidentifikasi serta menetapkan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan sesuai tuntunan dan perubahan zaman, (2) mempertimbangkan dan memilah sistem belajar mengajar yang tepat untuk mencapai sasaran yang akurat, (3) memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan effektif sehingga dapat dijadikan pegangan guru dalam menunaikan kegiatan mengajar, (4) menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melaksanakan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik untuk penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.
Suherman, dkk (2003:301) menyatakan bahwa mengajarkan ilmu pengetahuan, termasuk matematika mempunyai cara-cara yang sifatnya umum dan khusus. Keduanya harus mencakup hakekat pemahaman kognitif, afektif, dan psikomotor. Di damping itu, tidak kalah pentingnya bagaimana mengkomunikasikan ide atau gagasan yang dikandung oleh ilmu pengetahuan tersebut kepada orang lain. Karena pada dasarnya, pembelajaran adalah proses menjadikan orang lain paham dan mampu menyebarkan apa yang dipahaminya itu.
Strategi pembelajaran matematika harus menekankan pada tiaga aspek penting yaitu: (1) aspek kemampuan khusus, (2) aspek wawasan dan kemampuan umum dan (3) aspek kemampuan berkomunikasi. Seorang siswa yang mempelajari matematika tidak harus menguasai materi matematika, tetapi juga harus mampu mengkomunikasikan kemampuannya tersebut. Bahkan jika memungkinkan, merekapung dirangsang untuk mengkaitkan materi matematika yang sedang dipelajarinya dengan bidang lain atau kehidupan siswa sehari-sehari.
Pendekatan /Strategi pembelajaran guru matematika yang profesional haruslah: (1) melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai, (2) melaksanakan pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, (3) melaksanakan pembelajaran secara runtut, (4) menguasai kela, (5) melaksanakan pembelajaran yang bersifat kontekstual, (6) melaksanakan pembelajaran yang memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif, (7) melaksanakan pembelajaran sesuai waktu yang telah dialokasikan dan (8) menekankan pembelajaran ketrampilan mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis secara wajar dan terintgrasi.
Sebagai konsekuensi dari uraian tersebut, seorang guru matematika tidak saja harus menguasai materi ajar (subject matter) melainkan juga harus menguasai metode dan pendekatan pembelajaran yang terintegrasi, komprehensif dan holistik.
Untuk melaksanakan tugas secara profesional, guru memerlukan wawasan yang mantap tentang kemungkinan strategi belajar mengajar yang diterapkan sesuai dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan. Menurut Mansyur (1991), batasan belajar mengajar yang bersifat umum mempunyai empat dasar strategi, yakni: (1) mengidentifikasi serta menetapkan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan sesuai tuntunan dan perubahan zaman, (2) mempertimbangkan dan memilah sistem belajar mengajar yang tepat untuk mencapai sasaran yang akurat, (3) memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan effektif sehingga dapat dijadikan pegangan guru dalam menunaikan kegiatan mengajar, (4) menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melaksanakan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik untuk penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.
Suherman, dkk (2003:301) menyatakan bahwa mengajarkan ilmu pengetahuan, termasuk matematika mempunyai cara-cara yang sifatnya umum dan khusus. Keduanya harus mencakup hakekat pemahaman kognitif, afektif, dan psikomotor. Di damping itu, tidak kalah pentingnya bagaimana mengkomunikasikan ide atau gagasan yang dikandung oleh ilmu pengetahuan tersebut kepada orang lain. Karena pada dasarnya, pembelajaran adalah proses menjadikan orang lain paham dan mampu menyebarkan apa yang dipahaminya itu.
Strategi pembelajaran matematika harus menekankan pada tiaga aspek penting yaitu: (1) aspek kemampuan khusus, (2) aspek wawasan dan kemampuan umum dan (3) aspek kemampuan berkomunikasi. Seorang siswa yang mempelajari matematika tidak harus menguasai materi matematika, tetapi juga harus mampu mengkomunikasikan kemampuannya tersebut. Bahkan jika memungkinkan, merekapung dirangsang untuk mengkaitkan materi matematika yang sedang dipelajarinya dengan bidang lain atau kehidupan siswa sehari-sehari.
Pendekatan /Strategi pembelajaran guru matematika yang profesional haruslah: (1) melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai, (2) melaksanakan pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, (3) melaksanakan pembelajaran secara runtut, (4) menguasai kela, (5) melaksanakan pembelajaran yang bersifat kontekstual, (6) melaksanakan pembelajaran yang memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif, (7) melaksanakan pembelajaran sesuai waktu yang telah dialokasikan dan (8) menekankan pembelajaran ketrampilan mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis secara wajar dan terintgrasi.
Sebagai konsekuensi dari uraian tersebut, seorang guru matematika tidak saja harus menguasai materi ajar (subject matter) melainkan juga harus menguasai metode dan pendekatan pembelajaran yang terintegrasi, komprehensif dan holistik.
Minggu, 15 Mei 2011
REFLEKSI TERHADAP FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
Ditinjau dari asal katanya. “Matematika” berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “Mathema” yang berarti “Sains, Ilmu Pengetahuan atau belajar”. Dalam kegiatan sehari-hari terutama dalam bidang akademis, Matematika sering di-identik-kan dengan sesuatu yang “sulit, membosankan, dan bahkan momok” bagi sebagian besar orang (peserta didik). Namun, jika memang benar matematika adalah sesuatu yang sulit dan membosankan, mengapa matematika diberikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan (mulai TK sampai tingkat Sekolah Menengah Atas)?, Apakah arti dan makna matematika yang sebenarnya?
Dalam suatu cerita, sebuah pasangan suami istri yang sedang berselisih paham bisa berdamai hanya dengan mengancungkan jari yang melambangkan bilangan satu, dua, dan tiga. Dalam hal ini, suatu fenomena yang tidak dapat diselesaikan dengan bahasa verbal tenyata dapat diselesaikan dengan simbul matematika. Melihat kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa matematika diartikan sebagai “bahasa”. Dalam artinya sebagai bahasa, matematika memungkinkan ilmu berkembang dari kualitatif ke kuantitatif1. Disisi lain, dalam mempelajari berbagai disiplin ilmu matematika sering digunakan, baik dalam bentuk perhitungan, penalaran, penggunaan simbul dan pengambilan keputusan. Hal ini mengindikasikan bahwa matematika memiliki arti sebagai “pelayan ilmu”. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa perkembangan matematika tidak tergantung pada bidang ilmu lain, sehingga selain sebagai pelayan ilmu, matematika juga berarti sebagai “ratu” (Queen of Science). Penggunaan perhitungan sebenarnya tidak akan pernah lepas dari aktivitas manusia setiap harinya dan karenanya matematika dapat diartikan sebagai “aktivitas hidup” dan ketika melakukan aktivitas tersebut, sering kali dihadapkan pada suatu pilihan yang memerlukan spekulasi untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik. Dalam menentukan suatu pilihan, hal pertama yang dilakukan adalah melihat berbagai kemungkinan dan mengkajinya dari berbagai ketentuan yang berlaku (norma, agama, dan hukum) sehingga diperoleh suatu keputusan yang terbaik. Barangkali tidak disadari, dengan belajar matematika, pengambilan keputusan akan lebih maskimal karena kebiasaan berpikir secara deduktif (yaitu proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan).
Setelah memahami makna dan arti matematika, mungkin akan muncul pertanyaan berikutnya: “Bagaimanakah belajar dan mengajar matematika yang efektif, sementara materi yang ditetapkan cukup padat dan waktu tatap muka yang terbatasí?”. Pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan dan permasalahan klasik yang tidak hanya dihadapi oleh siswa dan guru di Indonesia. Untuk menghadapi permasalahan seperti ini di era sekarang, Lewin2 memberikan pernyataan sebagai berikut”…. My answer to this problem is to make myself available by telephone seven days a week and to teach my students how to send mathematical questions by email. The software that we use makes this process very simple. Thus, I can sometimes give a good answer to a complicated question at 11:00 PM on a Sunday night”. Ini berarti guru/dosen bisa berinteraksi dan menjawab/menanggapi topik yang disampaikan oleh peserta didiknya dengan menggunakan media elektronik berupa “Handphone” atau “Internet”. Salah satu implementasinya pada saat ini yaitu penggunaan “blog” dalam diskusi matematika sekolah maupun perkuliahan, seperti yang diterapkan dalam perkulian “Filsafat Ilmu” pada Program Magister Pendidikan Matematika UNY.
Selain kegunaan di atas, perkembangan teknologi juga memberikan manfaat lain dalam pembelajaran matematika. Terkait dengan hal ini, Lewin dalam tulisanya menyatakan dua peran penting teknologi dalam pembelajarn matematika sebagai berikut “Technology plays two major roles in the teaching of mathematics; 1) technology provides us with computer algebra systems (and hand held calculators) that allow us to explore mathematics interactively and 2) technology provides a means of communication between people”.
Hal lain yang sebenarnya mempengaruhi proses belajar mengajar matematika, yaitu: bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, apa yang harus dicapai oleh siswa, dan bagaimana guru menilainya. Dalam belajar matematika, setiap siswa memiliki cara belajar yang berbeda dan secara umum dibedakan menjadi empat kategori3: Alegori, integrasi, analisis, dan sintesis. Siswa yang belajar secara alegori menggunakan konsep yang sudah dipelajari sebelumnya untuk memahami materi atau konsep baru yang diajarkan dan menekankan penggunaan metode dalam bentuk yang mirip. Sementara siswa yang belajar secara integrasi berusaha membandingkan materi baru dengan konsep yang tlah dipahami, tetapi terkadang mereka mengalami kesulitan mencari hubungan antara kedua konsep tersebut. Kelompok siswa yang lain adalah siswa yang belajar dengan cara analisis, yaitu siswa yang mengharapkan penjelasan materi baru secara detail dan memikirkan ide baru dengan mengunakan pemikiran yang logis. Kelompok terakhir adalah siswa yang belajar dengan cara yang sangat abstrak dan berusaha mengembangakan strateginya sendiri yang lebih dikenal dengan kelompok siswa yang belajar secara sintesis.
Sementara itu, bagaimana guru mengajar, menentukan sasaran yang harus dicapai siswa, dan bagaimana hasil kerja siswa dinilai biasanya menyesuaikan dengan karakter guru yang mengajar serta metode dan pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Guru bisa saja menggunakan metode pengajaran langsung, penemuan, penemuan terbimbing, kooperatif, serta penggunaan teknologi yang tepat4. Untuk penilainnya, bisa menggunakan kertas kerja, penilaian dengan pertanyaan terbuka (open-ended), tes tertulis, fortofolio, penugasan, dan bentuk penilaian lainnya.
Dalam suatu cerita, sebuah pasangan suami istri yang sedang berselisih paham bisa berdamai hanya dengan mengancungkan jari yang melambangkan bilangan satu, dua, dan tiga. Dalam hal ini, suatu fenomena yang tidak dapat diselesaikan dengan bahasa verbal tenyata dapat diselesaikan dengan simbul matematika. Melihat kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa matematika diartikan sebagai “bahasa”. Dalam artinya sebagai bahasa, matematika memungkinkan ilmu berkembang dari kualitatif ke kuantitatif1. Disisi lain, dalam mempelajari berbagai disiplin ilmu matematika sering digunakan, baik dalam bentuk perhitungan, penalaran, penggunaan simbul dan pengambilan keputusan. Hal ini mengindikasikan bahwa matematika memiliki arti sebagai “pelayan ilmu”. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa perkembangan matematika tidak tergantung pada bidang ilmu lain, sehingga selain sebagai pelayan ilmu, matematika juga berarti sebagai “ratu” (Queen of Science). Penggunaan perhitungan sebenarnya tidak akan pernah lepas dari aktivitas manusia setiap harinya dan karenanya matematika dapat diartikan sebagai “aktivitas hidup” dan ketika melakukan aktivitas tersebut, sering kali dihadapkan pada suatu pilihan yang memerlukan spekulasi untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik. Dalam menentukan suatu pilihan, hal pertama yang dilakukan adalah melihat berbagai kemungkinan dan mengkajinya dari berbagai ketentuan yang berlaku (norma, agama, dan hukum) sehingga diperoleh suatu keputusan yang terbaik. Barangkali tidak disadari, dengan belajar matematika, pengambilan keputusan akan lebih maskimal karena kebiasaan berpikir secara deduktif (yaitu proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenaranya telah ditentukan).
Setelah memahami makna dan arti matematika, mungkin akan muncul pertanyaan berikutnya: “Bagaimanakah belajar dan mengajar matematika yang efektif, sementara materi yang ditetapkan cukup padat dan waktu tatap muka yang terbatasí?”. Pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan dan permasalahan klasik yang tidak hanya dihadapi oleh siswa dan guru di Indonesia. Untuk menghadapi permasalahan seperti ini di era sekarang, Lewin2 memberikan pernyataan sebagai berikut”…. My answer to this problem is to make myself available by telephone seven days a week and to teach my students how to send mathematical questions by email. The software that we use makes this process very simple. Thus, I can sometimes give a good answer to a complicated question at 11:00 PM on a Sunday night”. Ini berarti guru/dosen bisa berinteraksi dan menjawab/menanggapi topik yang disampaikan oleh peserta didiknya dengan menggunakan media elektronik berupa “Handphone” atau “Internet”. Salah satu implementasinya pada saat ini yaitu penggunaan “blog” dalam diskusi matematika sekolah maupun perkuliahan, seperti yang diterapkan dalam perkulian “Filsafat Ilmu” pada Program Magister Pendidikan Matematika UNY.
Selain kegunaan di atas, perkembangan teknologi juga memberikan manfaat lain dalam pembelajaran matematika. Terkait dengan hal ini, Lewin dalam tulisanya menyatakan dua peran penting teknologi dalam pembelajarn matematika sebagai berikut “Technology plays two major roles in the teaching of mathematics; 1) technology provides us with computer algebra systems (and hand held calculators) that allow us to explore mathematics interactively and 2) technology provides a means of communication between people”.
Hal lain yang sebenarnya mempengaruhi proses belajar mengajar matematika, yaitu: bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, apa yang harus dicapai oleh siswa, dan bagaimana guru menilainya. Dalam belajar matematika, setiap siswa memiliki cara belajar yang berbeda dan secara umum dibedakan menjadi empat kategori3: Alegori, integrasi, analisis, dan sintesis. Siswa yang belajar secara alegori menggunakan konsep yang sudah dipelajari sebelumnya untuk memahami materi atau konsep baru yang diajarkan dan menekankan penggunaan metode dalam bentuk yang mirip. Sementara siswa yang belajar secara integrasi berusaha membandingkan materi baru dengan konsep yang tlah dipahami, tetapi terkadang mereka mengalami kesulitan mencari hubungan antara kedua konsep tersebut. Kelompok siswa yang lain adalah siswa yang belajar dengan cara analisis, yaitu siswa yang mengharapkan penjelasan materi baru secara detail dan memikirkan ide baru dengan mengunakan pemikiran yang logis. Kelompok terakhir adalah siswa yang belajar dengan cara yang sangat abstrak dan berusaha mengembangakan strateginya sendiri yang lebih dikenal dengan kelompok siswa yang belajar secara sintesis.
Sementara itu, bagaimana guru mengajar, menentukan sasaran yang harus dicapai siswa, dan bagaimana hasil kerja siswa dinilai biasanya menyesuaikan dengan karakter guru yang mengajar serta metode dan pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Guru bisa saja menggunakan metode pengajaran langsung, penemuan, penemuan terbimbing, kooperatif, serta penggunaan teknologi yang tepat4. Untuk penilainnya, bisa menggunakan kertas kerja, penilaian dengan pertanyaan terbuka (open-ended), tes tertulis, fortofolio, penugasan, dan bentuk penilaian lainnya.
Sabtu, 07 Mei 2011
Meruntuhkan Mitos Matematika “Menakutkan” Menjadi “Menyenangkan”
Mendengarkan kata ”Matematika”, kebanyakan orang akan merasakan sesuatu yang tak menyenangkan. Mereka akan membayangkan angka-angka yang rumit dan susah dipecahkan, terbayang rumus-rumus yang sulit dihapal dan dimengerti. Matematika juga sering dipahami sebagai sesuatu yang mutlak sehingga seolah-olah tidak ada kemungkinan cara menjawab yang berbeda terhadap suatu masalah. Matematika dipahami sebagai sesuatu yang serba pasti. Siswa yang belajar di sekolah pun menerima pelajaran matematika sebagai sesuatu yang mesti tepat dan sedikitpun tak boleh salah. Sehingga matematika menjadi beban dan bahkan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Banyak mitos menyesatkan mengenai matematika. Mitos-mitos salah ini memberi andil besar dalam membuat sebagian masyarakat merasa alergi bahkan tidak menyukai matematika. Akibatnya, mayoritas siswa kita mendapat nilai buruk untuk bidang studi ini, bukan lantaran tidak mampu, melainkan karena sejak awal sudah merasa alergi dan takut sehingga tidak pernah atau malas untuk mempelajari matematika. Meski banyak ”mitos” sesat yang sudah mengakar dan menciptakan persepsi negatif terhadap matematika, antara lain:
1. Matematika adalah ilmu hafalan dari sekian banyak rumus. Mitos ini membuat siswa malas mempelajari matematika dan akhirnya tidak mengerti apa-apa tentang matematika. Padahal, sejatinya matematika bukanlah ilmu menghafal rumus, karena tanpa memahami konsep, rumus yang sudah dihafal tidak akan bermanfaat. Sebagai contoh, ada soal berikut, “Benny merakit sebuah mesin 6 jam lebih lama daripada Ahmad. Jika bersama-sama mereka dapat merakit sebuah mesin dalam waktu 4 jam, berapa lama waktu yang diperlukan oleh Ahmad untuk merakit sebuah mesin sendirian ?”. Seorang yang hafal rumus persamaan kuadrat tidak akan mampu menjawab soal tersebut apabila tidak mampu memodelkan soal tersebut ke dalam bentuk persamaan kuadrat. Sesungguhnya, hanya sedikit rumus matematika yang perlu (tapi tidak harus) dihapal, sedangkan sebagian besar rumus lain tidak perlu dihafal, melainkan cukup dimengerti konsepnya. Salah satu contoh, jika siswa mengerti konsep anatomi bentuk irisan kerucut, maka lebih dari 90 persen rumus-rumus irisan kerucut tidak perlu dihafal.
2. Matematika adalah ilmu abstrak dan tidak berhubungan dengan realita. Mitos ini jelas-jelas salah kaprah, sebab fakta menunjukkan bahwa matematika sangat realistis. Dalam arti, matematika merupakan bentuk analogi dari realita sehari-hari. Contoh paling sederhana adalah solusi dari Leonhard Euler, matematikawan Prancis, terhadap masalah Jembatan Konisberg. Selain itu, hampir di semua sektor, teknologi, ekonomi dan bahkan sosial, matematika berperan secara signifikan. Robot cerdas yang mampu berpikir berisikan program yang disebut sistem pakar (expert system) yang didasarkan kepada konsep Fuzzy Matematika. Hitungan aerodinamis pesawat terbang dan konsep GPS juga dilandaskan kepada konsep model matematika, geometri, dan kalkulus. Hampir semua teori-teori ekonomi dan perbankan modern diciptakan melalui matematika.
3. Matematika adalah ilmu yang membosankan, kaku, dan tidak rekreatif. Anggapan ini jelas keliru. Meski jawaban (solusi) matematika terasa eksak lantaran solusinya tunggal, tidak berarti matematika kaku dan membosankan. Walau jawaban (solusi) hanya satu (tunggal), cara atau metode menyelesaikan soal matematika sebenarnya boleh bermacam-macam.
TOT (Training of Trainers) Module Implementation Team (MIT) Paket Adaptasi Matematika Kohort II DBE2 Sulawesi Selatan (Makassar, Pinrang, Sidrap, Luwu) yang digelar tanggal 13 sampai 17 Januari 2009 di Makassar, setidaknya menjawab dan meruntuhkan mitos-mitos yang berkembang selama ini di tengah-tengah hiruk pikuk pembelajaran matematika, terutama di Sekolah Dasar. Matematika yang dimitoskan banyak orang dibedah oleh 41 peserta yang terdiri dari Master Teacher Trainer, Pemandu Bidang Studi Matematika, Dosen-Dosen Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah maupun Dosen Universitas Negeri Makassar, Widiyaiswara LPMP, Pengawas Pendidikan Depag, Distric Learning Coordinator (DLC) DBE2 Sul-Sel yang menghasilkan beberapa point penting yang akan diimplemetasiukan pada Pelatihan Tim Sekolah (PTS), Kelompok Kerja Kepala Sekolah(K3S),maupun Kelompok Kerja Guru (KKG) sampai Bantuan Profesional Sekolah (BPS) atau Pendampingan, untuk menghasilkan pembelajaran Matematika yang menyenangkan, dan tidak membosankan.
Tujuan TOT adalah: menghasilkan tujuan dan mekanisme pelatihan serta isi paket adaptasi Matematikan kepada peserta pelatihan (MIT); Meningkatkan kemampuan MIT sebagai fasilitator Paket Adaptasi Matematika., Mensimulasikan seluruh sesi/topik Paket Adaptasi Matematika untuk PTS, K3S, KKG dan BPS, serta Action Plan. Dengan mengusung Topik Pelatihan, antara lain: Pembelajaran Matematika bernuansa PAKEM; Hakikat dan Tujuan Pembelajaran Matematika; Permainan Matematika; Teori-Teori Belajar Matematika; Model Pembelajaran Matematikia; Pembelajaran Matematika Berbasis ICT; Pembelajaran Remedial dan Pengayaan; Alat Peraga Murah, Pemberdayaan sekolah; Penilaian pembelajaran Matematika; Belajar matematika yang Menyenangkan.
Sehubungan dengan apriori berlebihan terhadap matematika, terdapat beberapa penyebab diantaranya adalah adanya penekanan yang berlebihan pada penghafalan rumus, kecepatan menghitung, metode pengajaran yang otoriter (kurang bervariasi) dalam proses belajar dan mengajar matematika. Untuk mengatasi hal ini, yang sangat berperan penting adalah guru matematika, yang harus bisa mengubah metode pengajarannya untuk siswa dalam proses belajar mengajar tanpa mengesampingkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang pembelajaran matematika. Demikian pernyataan yang disampaikan Darwing Paduppai dan Amir Daud disela-sela penyajian materi TOT.
Tujuan jangka pendek dari pembelajaran matematika adalah siswa diharapkan dapat memahami materi matematika yang dipelajarinya dan dapat menggunakannnya pada pelajaran lain atau kehidupan nyata dan bekal untuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Tujuan jangka panjangnya adalah siswa dapat mengambil ”nilai-nilai matematika” dan mengaplikasikannya untuk kehidupan. Nilai-nilai yang dimaksud adalah penalaran, kedisiplinan, kejujuran, kebertanggung jawaban, kesetiakawanan dan lain-lain.
Matematika tidak lagi hanya terfokus pada hitungan aritmatika semata tetapi matematika tetapi lebih kepada penalaran yang menggunakan logika. Matematika bukan hanya sekedar aktifitas penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian. Belajar matematika pada zaman sekarang harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup. Matematika hendaknya harus akrab dngan topik dan persoalan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari (bagaimana anak memaknai matematika). Salah satu cara agar anak cinta pada matematika adalah membiasakan anak menemukan konsep matematika melalui permainan dan suasana yang santai. Siswa mempelajari matematika melalui pengalaman pengajaran yang disediakan oleh gurunya. Sehingga guru harus tahu dan benar-benar memahami matematika yang mereka ajarkan serta memahami bagaimana cara siswanya mempelajari matematika sehingga dapat memotivasi mereka dalam membentuk kebiasaan belajar yang efektif dan efisien, sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Darwis, Ketua Jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar.
Memang tidak ada suatu standar yang baku dalam mengajar matematika, tetapi guru perlu mengukur apakah cara mereka mengajar sudah benar-benar efektif sesuai dengan siswa yang dihadapinya pada saat tertentu. Jenjang Profesionalitas juga berfungsi sebagai alat untuk membimbing guru-guru yang belum berpengalaman dengan nantinya harus berada dibawah pengawasan oleh mereka yang sudah berpengalaman. Selain itu Jenjang Profesionalitas juga mengatur seberapa jauh hak seorang guru dalam memodifikasi cara mengajar, bereksperimen dengan alat bantu pengajar yang baru atau juga dalam memperluas kurikulum yang ada.
Selain mengajar, guru juga bertanggung jawab dalam membangun atmosfer akademik di dalam kelas, yang akan dibahas lebih lanjut dalam Standar Kualitas ke-3 tentang Atmosfer Akademik. Atmosfer ini sebenarnya bertujuan untuk membentuk Karakter siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap Ilmiah dan Kreatif. Guru perlu menekankan nilai-nilai inti yang berhubungan dengan pengembangan sikap Ilmiah dan Kreatif dalam setiap tugas yang diberikan kepada siswanya, dalam membimbing siswa memecahkan suatu persoalan atau juga dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa.
Untuk menetapkan model pembelajaran yang menyenangkan agar tujuan pembelajaran matematika tercapai dengan maksimal, maka harus diupayakan agar siswa lebih mengeti dan memahami materi yang diajarkan dibandingkan harus mengejar target kutikulum tanpa dibarengi pemahaman materi. Pembelajaran yang berorientasi pada siswa ini diantaranya dapat dilakukan dengan cara pendampingan siswa satu per satu atau perkelompok. Penjelasan materi dan contoh penyelesaian soal diberikan di depan kelas secara klasikal, kemudian pada saat siswa mengerjakan latihan guru berkeliling untuk memperhatikan siswa secara personal. Dengan cara seperti ini, siswa yang memiliki kemampuan yang kurang akan mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan siswa yang pintar.
Menurut Muthmainnah (MTT Makassar), mengungkapkan bahwa Matematika yang menyenangkan dapat pula disuguhkan dalam bentuk permainan, lagu-lagu yang diciptakan sendiri atau gambar-gambtar yang memadukan angka dengan hewan atau bunga dan buah-buahan. Jika anak salah menjawab jangan pernah memarahi, menghukum atau mencela, tetap berikan pujian dan kemudian mengulangi pertanyaan sambil menjelaskan jawaban yang tepat.
oleh mallarangan
Banyak mitos menyesatkan mengenai matematika. Mitos-mitos salah ini memberi andil besar dalam membuat sebagian masyarakat merasa alergi bahkan tidak menyukai matematika. Akibatnya, mayoritas siswa kita mendapat nilai buruk untuk bidang studi ini, bukan lantaran tidak mampu, melainkan karena sejak awal sudah merasa alergi dan takut sehingga tidak pernah atau malas untuk mempelajari matematika. Meski banyak ”mitos” sesat yang sudah mengakar dan menciptakan persepsi negatif terhadap matematika, antara lain:
1. Matematika adalah ilmu hafalan dari sekian banyak rumus. Mitos ini membuat siswa malas mempelajari matematika dan akhirnya tidak mengerti apa-apa tentang matematika. Padahal, sejatinya matematika bukanlah ilmu menghafal rumus, karena tanpa memahami konsep, rumus yang sudah dihafal tidak akan bermanfaat. Sebagai contoh, ada soal berikut, “Benny merakit sebuah mesin 6 jam lebih lama daripada Ahmad. Jika bersama-sama mereka dapat merakit sebuah mesin dalam waktu 4 jam, berapa lama waktu yang diperlukan oleh Ahmad untuk merakit sebuah mesin sendirian ?”. Seorang yang hafal rumus persamaan kuadrat tidak akan mampu menjawab soal tersebut apabila tidak mampu memodelkan soal tersebut ke dalam bentuk persamaan kuadrat. Sesungguhnya, hanya sedikit rumus matematika yang perlu (tapi tidak harus) dihapal, sedangkan sebagian besar rumus lain tidak perlu dihafal, melainkan cukup dimengerti konsepnya. Salah satu contoh, jika siswa mengerti konsep anatomi bentuk irisan kerucut, maka lebih dari 90 persen rumus-rumus irisan kerucut tidak perlu dihafal.
2. Matematika adalah ilmu abstrak dan tidak berhubungan dengan realita. Mitos ini jelas-jelas salah kaprah, sebab fakta menunjukkan bahwa matematika sangat realistis. Dalam arti, matematika merupakan bentuk analogi dari realita sehari-hari. Contoh paling sederhana adalah solusi dari Leonhard Euler, matematikawan Prancis, terhadap masalah Jembatan Konisberg. Selain itu, hampir di semua sektor, teknologi, ekonomi dan bahkan sosial, matematika berperan secara signifikan. Robot cerdas yang mampu berpikir berisikan program yang disebut sistem pakar (expert system) yang didasarkan kepada konsep Fuzzy Matematika. Hitungan aerodinamis pesawat terbang dan konsep GPS juga dilandaskan kepada konsep model matematika, geometri, dan kalkulus. Hampir semua teori-teori ekonomi dan perbankan modern diciptakan melalui matematika.
3. Matematika adalah ilmu yang membosankan, kaku, dan tidak rekreatif. Anggapan ini jelas keliru. Meski jawaban (solusi) matematika terasa eksak lantaran solusinya tunggal, tidak berarti matematika kaku dan membosankan. Walau jawaban (solusi) hanya satu (tunggal), cara atau metode menyelesaikan soal matematika sebenarnya boleh bermacam-macam.
TOT (Training of Trainers) Module Implementation Team (MIT) Paket Adaptasi Matematika Kohort II DBE2 Sulawesi Selatan (Makassar, Pinrang, Sidrap, Luwu) yang digelar tanggal 13 sampai 17 Januari 2009 di Makassar, setidaknya menjawab dan meruntuhkan mitos-mitos yang berkembang selama ini di tengah-tengah hiruk pikuk pembelajaran matematika, terutama di Sekolah Dasar. Matematika yang dimitoskan banyak orang dibedah oleh 41 peserta yang terdiri dari Master Teacher Trainer, Pemandu Bidang Studi Matematika, Dosen-Dosen Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah maupun Dosen Universitas Negeri Makassar, Widiyaiswara LPMP, Pengawas Pendidikan Depag, Distric Learning Coordinator (DLC) DBE2 Sul-Sel yang menghasilkan beberapa point penting yang akan diimplemetasiukan pada Pelatihan Tim Sekolah (PTS), Kelompok Kerja Kepala Sekolah(K3S),maupun Kelompok Kerja Guru (KKG) sampai Bantuan Profesional Sekolah (BPS) atau Pendampingan, untuk menghasilkan pembelajaran Matematika yang menyenangkan, dan tidak membosankan.
Tujuan TOT adalah: menghasilkan tujuan dan mekanisme pelatihan serta isi paket adaptasi Matematikan kepada peserta pelatihan (MIT); Meningkatkan kemampuan MIT sebagai fasilitator Paket Adaptasi Matematika., Mensimulasikan seluruh sesi/topik Paket Adaptasi Matematika untuk PTS, K3S, KKG dan BPS, serta Action Plan. Dengan mengusung Topik Pelatihan, antara lain: Pembelajaran Matematika bernuansa PAKEM; Hakikat dan Tujuan Pembelajaran Matematika; Permainan Matematika; Teori-Teori Belajar Matematika; Model Pembelajaran Matematikia; Pembelajaran Matematika Berbasis ICT; Pembelajaran Remedial dan Pengayaan; Alat Peraga Murah, Pemberdayaan sekolah; Penilaian pembelajaran Matematika; Belajar matematika yang Menyenangkan.
Sehubungan dengan apriori berlebihan terhadap matematika, terdapat beberapa penyebab diantaranya adalah adanya penekanan yang berlebihan pada penghafalan rumus, kecepatan menghitung, metode pengajaran yang otoriter (kurang bervariasi) dalam proses belajar dan mengajar matematika. Untuk mengatasi hal ini, yang sangat berperan penting adalah guru matematika, yang harus bisa mengubah metode pengajarannya untuk siswa dalam proses belajar mengajar tanpa mengesampingkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang pembelajaran matematika. Demikian pernyataan yang disampaikan Darwing Paduppai dan Amir Daud disela-sela penyajian materi TOT.
Tujuan jangka pendek dari pembelajaran matematika adalah siswa diharapkan dapat memahami materi matematika yang dipelajarinya dan dapat menggunakannnya pada pelajaran lain atau kehidupan nyata dan bekal untuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Tujuan jangka panjangnya adalah siswa dapat mengambil ”nilai-nilai matematika” dan mengaplikasikannya untuk kehidupan. Nilai-nilai yang dimaksud adalah penalaran, kedisiplinan, kejujuran, kebertanggung jawaban, kesetiakawanan dan lain-lain.
Matematika tidak lagi hanya terfokus pada hitungan aritmatika semata tetapi matematika tetapi lebih kepada penalaran yang menggunakan logika. Matematika bukan hanya sekedar aktifitas penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian. Belajar matematika pada zaman sekarang harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup. Matematika hendaknya harus akrab dngan topik dan persoalan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari (bagaimana anak memaknai matematika). Salah satu cara agar anak cinta pada matematika adalah membiasakan anak menemukan konsep matematika melalui permainan dan suasana yang santai. Siswa mempelajari matematika melalui pengalaman pengajaran yang disediakan oleh gurunya. Sehingga guru harus tahu dan benar-benar memahami matematika yang mereka ajarkan serta memahami bagaimana cara siswanya mempelajari matematika sehingga dapat memotivasi mereka dalam membentuk kebiasaan belajar yang efektif dan efisien, sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Darwis, Ketua Jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar.
Memang tidak ada suatu standar yang baku dalam mengajar matematika, tetapi guru perlu mengukur apakah cara mereka mengajar sudah benar-benar efektif sesuai dengan siswa yang dihadapinya pada saat tertentu. Jenjang Profesionalitas juga berfungsi sebagai alat untuk membimbing guru-guru yang belum berpengalaman dengan nantinya harus berada dibawah pengawasan oleh mereka yang sudah berpengalaman. Selain itu Jenjang Profesionalitas juga mengatur seberapa jauh hak seorang guru dalam memodifikasi cara mengajar, bereksperimen dengan alat bantu pengajar yang baru atau juga dalam memperluas kurikulum yang ada.
Selain mengajar, guru juga bertanggung jawab dalam membangun atmosfer akademik di dalam kelas, yang akan dibahas lebih lanjut dalam Standar Kualitas ke-3 tentang Atmosfer Akademik. Atmosfer ini sebenarnya bertujuan untuk membentuk Karakter siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap Ilmiah dan Kreatif. Guru perlu menekankan nilai-nilai inti yang berhubungan dengan pengembangan sikap Ilmiah dan Kreatif dalam setiap tugas yang diberikan kepada siswanya, dalam membimbing siswa memecahkan suatu persoalan atau juga dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa.
Untuk menetapkan model pembelajaran yang menyenangkan agar tujuan pembelajaran matematika tercapai dengan maksimal, maka harus diupayakan agar siswa lebih mengeti dan memahami materi yang diajarkan dibandingkan harus mengejar target kutikulum tanpa dibarengi pemahaman materi. Pembelajaran yang berorientasi pada siswa ini diantaranya dapat dilakukan dengan cara pendampingan siswa satu per satu atau perkelompok. Penjelasan materi dan contoh penyelesaian soal diberikan di depan kelas secara klasikal, kemudian pada saat siswa mengerjakan latihan guru berkeliling untuk memperhatikan siswa secara personal. Dengan cara seperti ini, siswa yang memiliki kemampuan yang kurang akan mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan siswa yang pintar.
Menurut Muthmainnah (MTT Makassar), mengungkapkan bahwa Matematika yang menyenangkan dapat pula disuguhkan dalam bentuk permainan, lagu-lagu yang diciptakan sendiri atau gambar-gambtar yang memadukan angka dengan hewan atau bunga dan buah-buahan. Jika anak salah menjawab jangan pernah memarahi, menghukum atau mencela, tetap berikan pujian dan kemudian mengulangi pertanyaan sambil menjelaskan jawaban yang tepat.
oleh mallarangan
Selasa, 03 Mei 2011
Sikap Belajar Siswa
Pengertian Sikap Belajar Siswa
Faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya siswa dalam belajar adalah perubahan sikap. Sikap menentukan bagaimana individu dalam kehidupan. “Sikap selalu berkenaan dengan objek, dan sikap terhadap objek ini disertai dengan perasaan positif dan negative” (Slameto, 2003 : 188). Orang akan bersikap positif terhadap apa yang dianggapnya penting, dan akan bersikap negatif terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak bernilai atau merugikan bagi dirinya.
Sikap terbentuk melalui berbagai macam cara, antara lain :
1. Melalui pengalaman yang berulang-ulang atau suatu pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatic).
2. Melalui imitasi (peniruan)
Peniruan dapat dilakukan dengan sengaja maupun tidak di sengaja. Peniruan dapat terjadi apabila seseorang individu memiliki minat terhadap apa yang diamatinya.
3. Melalui sugesti
Yang dimaksud sugesti adalah seseorang yang membentuk suatu sikap terhadap suatu objek tanpa ada suatu alas an dan pemikiran yang jelas, tetapi semata-mata karena pengaruh orang lain yang dianggap memiliki wibawa.
4. Melalui identifikasi
Merupakan peniruan terhadap orang lain atau organisasi tertentu yang dianggap memiliki keterkaitan emosional dengan individu tersebut. Sifat meniru tersebut lebih banyak dalam hal menyamai. Misalnya, pengikut dengan pemimpin, siswa dengan guru, anak dengan ayah.
Sikap memiliki kecenderungan untuk bertahan, sehingga perubahan sikap bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Ada banyak hal yang menyebabkan sulitnya perubahan sikap, antara lain :
1. Adanya dukungan lingkungan terhadap sikap yang dilakukan.
2. Adanya perasaan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang.
3. Bekerjanya asas selektifitas.
Menyeleksi informasi-informasi yang sesuai dengan pandangan yang memiliki nilai kemanfaatan bagi dirinya.
4. Bekerjanya prinsip mempertahankan keseimbangan.
Ada kecenderungan seseorang untuk menghindari data atau informasi yang bertentangan dengan sikap-sikapnya. Misalnya menghindari perdebatan yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
5. Adanya sikap tidak kaku pada sementara orang untuk mempertahankan pendapatnya sendiri.
Sikap belajar adalah kecenderungan bertindak dalam perubahan tingkah laku melalui latihan dan pengalaman dari keadaan tidak tahu menjadi tahu yang dapat diukur melalui : toleransi, kebersamaan dan gotong-royong, rasa kesetiakawanan, dan jujur (Safari, 2003 : 58).
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat menjadi dasar indikator sikap belajar siswa antara lain :
a. Toleransi siswa terhadap oranga lain.
b. Kebersamaan dan gotong-royong.
c. Rasa kesetiakawanan.
d. Kejujuran siswa
Faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya siswa dalam belajar adalah perubahan sikap. Sikap menentukan bagaimana individu dalam kehidupan. “Sikap selalu berkenaan dengan objek, dan sikap terhadap objek ini disertai dengan perasaan positif dan negative” (Slameto, 2003 : 188). Orang akan bersikap positif terhadap apa yang dianggapnya penting, dan akan bersikap negatif terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak bernilai atau merugikan bagi dirinya.
Sikap terbentuk melalui berbagai macam cara, antara lain :
1. Melalui pengalaman yang berulang-ulang atau suatu pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatic).
2. Melalui imitasi (peniruan)
Peniruan dapat dilakukan dengan sengaja maupun tidak di sengaja. Peniruan dapat terjadi apabila seseorang individu memiliki minat terhadap apa yang diamatinya.
3. Melalui sugesti
Yang dimaksud sugesti adalah seseorang yang membentuk suatu sikap terhadap suatu objek tanpa ada suatu alas an dan pemikiran yang jelas, tetapi semata-mata karena pengaruh orang lain yang dianggap memiliki wibawa.
4. Melalui identifikasi
Merupakan peniruan terhadap orang lain atau organisasi tertentu yang dianggap memiliki keterkaitan emosional dengan individu tersebut. Sifat meniru tersebut lebih banyak dalam hal menyamai. Misalnya, pengikut dengan pemimpin, siswa dengan guru, anak dengan ayah.
Sikap memiliki kecenderungan untuk bertahan, sehingga perubahan sikap bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Ada banyak hal yang menyebabkan sulitnya perubahan sikap, antara lain :
1. Adanya dukungan lingkungan terhadap sikap yang dilakukan.
2. Adanya perasaan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang.
3. Bekerjanya asas selektifitas.
Menyeleksi informasi-informasi yang sesuai dengan pandangan yang memiliki nilai kemanfaatan bagi dirinya.
4. Bekerjanya prinsip mempertahankan keseimbangan.
Ada kecenderungan seseorang untuk menghindari data atau informasi yang bertentangan dengan sikap-sikapnya. Misalnya menghindari perdebatan yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
5. Adanya sikap tidak kaku pada sementara orang untuk mempertahankan pendapatnya sendiri.
Sikap belajar adalah kecenderungan bertindak dalam perubahan tingkah laku melalui latihan dan pengalaman dari keadaan tidak tahu menjadi tahu yang dapat diukur melalui : toleransi, kebersamaan dan gotong-royong, rasa kesetiakawanan, dan jujur (Safari, 2003 : 58).
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat menjadi dasar indikator sikap belajar siswa antara lain :
a. Toleransi siswa terhadap oranga lain.
b. Kebersamaan dan gotong-royong.
c. Rasa kesetiakawanan.
d. Kejujuran siswa
Jumat, 29 April 2011
Pengembangan ICT dalam Pembelajaran
A. Mengapa Menggunakan ICT ?
Proses belajar mengajar (PBM) seringkali dihadapkan pada materi yang abstrak dan di luar pengalaman siswa sehari-hari, sehingga materi ini menjadi sulit diajarkan guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Gambar dua dimensi atau model tiga dimensi adalah visualisasi yang sering dilakukan dalam PBM. Pada era informatika visualisasi berkembang dalam bentuk gambar bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan suara (audio). Sajian audio visual atau lebih dikenal dengan sebutan multimedia menjadikan visualisasi lebih menarik. ICT dalam hal ini komputer dengan dukungan multimedia dapat menyajikan sebuah tampilan berupa teks nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat pengguna (user) lebih leluasa memilih, mensintesa, dan mengelaborasi pengetahuan yang ingin dipahaminya. Walhasil komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran, karena komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi, seperti yang diinginkan. Iklim afektif ini akan melibatkan penggambaran ulang berbagai objek yang ada dalam pikiran siswa. Dan iklim inilah yang membuat tingkat retensi siswa pengguna komputer multimedia lebih tinggi daripada bukan pengguna.
B. Bagaimana Karakteristik Materi Berbasis ICT ?
Sebuah pepatah menyebutkan I hear I forget, I see I Know, I do I Understand. Penelitian De Porter mengungkapkan manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dikerjakan, 50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio visual), sedangkan dari yang dilihatnya hanya 30%, dari yang didengarnya hanya 20%, dan dari yang dibaca hanya 10%. Berdasarkan ini semua, maka kegiatan hands on dalam PBM harus tetap diutamakan.
Kadang kala PBM dihadapkan pada materi yang tidak dapat dilakukan secara hands on. Misalnya suatu percobaan membutuhkan waktu lama, sedangkan waktu PBM terbatas atau benda sebenarnya sulit untuk diperlihatkan dan dieksplorasi oleh siswa. Pada saat seperti inilah diperlukan alat bantu pengajaran, salah satunya adalah pembelajaran berbasis ICT (komputer multimedia). Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan, jika ingin menggunakan komputer multimedia dalam PBM adalah mengkaji karakteristik materi. Walaupun kegiatan yang bersifat hands on dapat digantikan dengan multimedia, tetapi hal ini tidak disarankan untuk digunakan. Sebaiknya multimedia digunakan hanya untuk pembelajaran yang tidak memungkinkan dilakukan secara hands on. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan materi yang akan disajikan ke dalam bentuk wacana multimedia.
C. Bagaimana Cara Mengolah Materi yang Disajikan dengan Berbasis ICT ?
Pengolahan materi yang akan disajikan dalam bentuk multimedia dapat mengikuti tahapan pengolahan materi subyek. Tahapan tersebut adalah seleksi I, strukturisasi, seleksi II, dan reduksi .
Tahap 1. Seleksi buku
Memilih sebuah buku yang akan menjadi acuan dengan pertimbangan isi materi, tingkat kesulitan, metodologi instruksional, dan integritas keilmuan penulis.
Tahap 2. Strukturisasi
Sturkturisasi diawali dengan membuat proposisi dari teks dasar.
Setelah menentukan proposisi utama, makro, dan mikro, langkah selanjutnya adalah mengalihkannya ke bentuk outline, sehingga didapatkan sebuah model representasi teks.
Tahap 3. Seleksi materi yang sesuai kebutuhan siswa
Tidak semua materi yang ada pada topik/materi diperlukan oleh siswa. Oleh karena itu dibutuhkan pemilihan kembali terhadap materi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Tahap 4. Reduksi
Reduksi pada materi yang akan diajarkan dilakukan dengan cara penyederhanakan bahasa, visualisasi, dan penggunaan teknik historis dalam pemaparannya.
Penyederhanaan bahasa dilakukan dengan mengabaikan hal-hal kurang relevan dengan kebutuhan siswa. Visualisasi dilakukan dengan memberikan gambar dari suatu proses yang terjadi. Akan lebih mudah dipahami jika disajikan dalam bentuk gambar (visual).
D. Bagaimana Cara Menyajikan Wacana Berbasis ICT?
Aneka program komputer (software) dapat digunakan untuk membuat wacana multimedia. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan software selain kemampuan atau penguasaan terhadap software, adalah spesifikasi perangkat keras (hardware) yang tersedia di sekolah. Pertimbangan spesifikasi hardware ini sangat penting, karena hanya dengan spesifikasi hardware yang mendukung, wacana multimedia yang telah dibuat dapat berjalan dengan baik. Jika ketersediaan hardware di sekolah edisi P166 ke bawah, maka tidak disarankan membuat wacana multimedia menggunakan Macromedia Flash, untuk kondisi hardware seperti itu penggunaan program Microsoft Power Point sudah cukup memadai. Program Microsoft Power Point menampilkan menu-menu yang berguna dalam pembuatan wacana multimedia yang bersifat tutorial. Menu-menu tersebut adalah menu animasi; menu untuk memasukan (import file) suara, video, dan gambar animasi; dan menu tautan (hyperlink) untuk menghubungkan antara satu simpul (node) atau file dengan simpul atau file lainnya. Menu-menu ini menjadikan program Microsoft Power Point tidak hanya berperan sebagai alat presentasi (tools) tetapi dapat dikembangkan menjadi tutor. Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam pembuatan wacana multimedia yang sifatnya tutorial adalah ketersediaan menu-menu yang dapat diakses dan adanya ikon tutorial yang akan membimbing pengguna wacana multimedia (user).
(R. Bambang Aryan Soekisno – Bogor)
Proses belajar mengajar (PBM) seringkali dihadapkan pada materi yang abstrak dan di luar pengalaman siswa sehari-hari, sehingga materi ini menjadi sulit diajarkan guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Gambar dua dimensi atau model tiga dimensi adalah visualisasi yang sering dilakukan dalam PBM. Pada era informatika visualisasi berkembang dalam bentuk gambar bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan suara (audio). Sajian audio visual atau lebih dikenal dengan sebutan multimedia menjadikan visualisasi lebih menarik. ICT dalam hal ini komputer dengan dukungan multimedia dapat menyajikan sebuah tampilan berupa teks nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat pengguna (user) lebih leluasa memilih, mensintesa, dan mengelaborasi pengetahuan yang ingin dipahaminya. Walhasil komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran, karena komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi, seperti yang diinginkan. Iklim afektif ini akan melibatkan penggambaran ulang berbagai objek yang ada dalam pikiran siswa. Dan iklim inilah yang membuat tingkat retensi siswa pengguna komputer multimedia lebih tinggi daripada bukan pengguna.
B. Bagaimana Karakteristik Materi Berbasis ICT ?
Sebuah pepatah menyebutkan I hear I forget, I see I Know, I do I Understand. Penelitian De Porter mengungkapkan manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dikerjakan, 50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio visual), sedangkan dari yang dilihatnya hanya 30%, dari yang didengarnya hanya 20%, dan dari yang dibaca hanya 10%. Berdasarkan ini semua, maka kegiatan hands on dalam PBM harus tetap diutamakan.
Kadang kala PBM dihadapkan pada materi yang tidak dapat dilakukan secara hands on. Misalnya suatu percobaan membutuhkan waktu lama, sedangkan waktu PBM terbatas atau benda sebenarnya sulit untuk diperlihatkan dan dieksplorasi oleh siswa. Pada saat seperti inilah diperlukan alat bantu pengajaran, salah satunya adalah pembelajaran berbasis ICT (komputer multimedia). Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan, jika ingin menggunakan komputer multimedia dalam PBM adalah mengkaji karakteristik materi. Walaupun kegiatan yang bersifat hands on dapat digantikan dengan multimedia, tetapi hal ini tidak disarankan untuk digunakan. Sebaiknya multimedia digunakan hanya untuk pembelajaran yang tidak memungkinkan dilakukan secara hands on. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan materi yang akan disajikan ke dalam bentuk wacana multimedia.
C. Bagaimana Cara Mengolah Materi yang Disajikan dengan Berbasis ICT ?
Pengolahan materi yang akan disajikan dalam bentuk multimedia dapat mengikuti tahapan pengolahan materi subyek. Tahapan tersebut adalah seleksi I, strukturisasi, seleksi II, dan reduksi .
Tahap 1. Seleksi buku
Memilih sebuah buku yang akan menjadi acuan dengan pertimbangan isi materi, tingkat kesulitan, metodologi instruksional, dan integritas keilmuan penulis.
Tahap 2. Strukturisasi
Sturkturisasi diawali dengan membuat proposisi dari teks dasar.
Setelah menentukan proposisi utama, makro, dan mikro, langkah selanjutnya adalah mengalihkannya ke bentuk outline, sehingga didapatkan sebuah model representasi teks.
Tahap 3. Seleksi materi yang sesuai kebutuhan siswa
Tidak semua materi yang ada pada topik/materi diperlukan oleh siswa. Oleh karena itu dibutuhkan pemilihan kembali terhadap materi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Tahap 4. Reduksi
Reduksi pada materi yang akan diajarkan dilakukan dengan cara penyederhanakan bahasa, visualisasi, dan penggunaan teknik historis dalam pemaparannya.
Penyederhanaan bahasa dilakukan dengan mengabaikan hal-hal kurang relevan dengan kebutuhan siswa. Visualisasi dilakukan dengan memberikan gambar dari suatu proses yang terjadi. Akan lebih mudah dipahami jika disajikan dalam bentuk gambar (visual).
D. Bagaimana Cara Menyajikan Wacana Berbasis ICT?
Aneka program komputer (software) dapat digunakan untuk membuat wacana multimedia. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan software selain kemampuan atau penguasaan terhadap software, adalah spesifikasi perangkat keras (hardware) yang tersedia di sekolah. Pertimbangan spesifikasi hardware ini sangat penting, karena hanya dengan spesifikasi hardware yang mendukung, wacana multimedia yang telah dibuat dapat berjalan dengan baik. Jika ketersediaan hardware di sekolah edisi P166 ke bawah, maka tidak disarankan membuat wacana multimedia menggunakan Macromedia Flash, untuk kondisi hardware seperti itu penggunaan program Microsoft Power Point sudah cukup memadai. Program Microsoft Power Point menampilkan menu-menu yang berguna dalam pembuatan wacana multimedia yang bersifat tutorial. Menu-menu tersebut adalah menu animasi; menu untuk memasukan (import file) suara, video, dan gambar animasi; dan menu tautan (hyperlink) untuk menghubungkan antara satu simpul (node) atau file dengan simpul atau file lainnya. Menu-menu ini menjadikan program Microsoft Power Point tidak hanya berperan sebagai alat presentasi (tools) tetapi dapat dikembangkan menjadi tutor. Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam pembuatan wacana multimedia yang sifatnya tutorial adalah ketersediaan menu-menu yang dapat diakses dan adanya ikon tutorial yang akan membimbing pengguna wacana multimedia (user).
(R. Bambang Aryan Soekisno – Bogor)
Selasa, 26 April 2011
Guru Matematika Bertaraf Internasional
Berdasarkan hasil studi banding kami ke Australia tentang Kelas Matematika bertaraf internasional 13 – 21 Desember 2008, dengan mengacu sumber utama tentang standard internasional bagi guru-guru matematika di Australia beserta hasil dari berbagai diskusi dengan nara sumber yang kompeten, maka kami dapat menyimpulkan bahwa Guru Matematika Sekolah Bertaraf Internasional paling tidak harus memenuhi 3 (tiga) macam kriteria profesi yaitu: a) profesional dalam bidang pengetahuan matematika dan pendidikan matematika, b) profesional dalam melaksanakan pembelajaran matematika, dan c) profesional dalam meningkatkan profesi kependidikan matematika. Jabaran dari kriteria di atas adalah sebagai berikut:
A. Profesional Dalam Bidang Pengetahuan Matematika dan Pendidikan Matematika
1. Guru menguasai matematika sekolah
• mempunyai pengetahuan tentang materi, proses atau prosedur serta keterampilan menyelesaikan persoalan matematika
• mengetahui ruang lingkup, jenis dan macam-macam matematika sekolah
• menguasai pendekatan pedagogis untuk mempelajari matematika sekolah
• mengetahui berbagai kompetensi matematika sekolah yang harus dikuasai para siswa
• mengetahui dan dapat mengimplementasikan interaksi antara siswa dan matematika sekolah
• mengetahui dan dapat mengimplementasikan bagaimana mengetahui pencapaian kompetensi matematika sekolah
2. Guru memahami hakekat siswa belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan komunikasi dengan siswa pebelajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan pelayanan terhadap kebutuhan siswa belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan prinsip “education for all” dalam pembelajaran matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai cara untuk mengetahui berbagai macam perbedaan kemampuan siswa belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai cara untuk mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan budaya siswa belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan pengetahuan tentang kemampuan prasyarat dan kegiatan remedial kesulitan belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan kode etik pembelajaran matematika
• mengkomunikasikan persiapan, proses dan hasil belajar matematika kepada pihak-pihak terkait, misal sekolah dan orang tua murid
3. Guru menguasai berbagai metode pembelajaran matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai teori belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai model belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan penelitian kelas pembelajaran matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai model-model pembelajaran matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai metode penilaian berbasis kelas dan mendokumentasikannya untuk berbagai keperluan
B. Profesional Dalam Melaksanakan Pembelajaran Matematika
1. Guru mampu mengembangkan Rencana Pembelajaran
• menggunakan segenap pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya untuk merencanakan pembelajaran matematika baik pada level klasikal, kelompok maupun individual
• mengembangkan rencana pembelajaran (RPP) yang memuat segenap aspek kompetensi, indikator, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, pemanfaatan alat bantu atau media pembelajaran, serta metode penilaian atau assesmen.
• merencanakan struktur pembelajaran, skema interaksi, skema kegiatan siswa dan skema pencapaian kompetensi siswa
• merencanakan kegiatan refleksi belajar matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan silabus pembelajaran matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum pembelajaran matematika
2. Guru mampu menyiapkan lingkungan belajar matematika
• menjamin bahwa dalam belajar matematika, siswa merasa aman, nyaman dan menunjang pencapaian kompetensi matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan pemanfaatan sumber belajar matematika baik dari dalam kelas maupun dari luar kelas
• memfasilitasi kebutuhan siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar matematika baik dalam klasikal, kelompok maupun individual
• mengorganisasi dan mengelola sumber-sumber belajar matematika
• menjamin lingkungan belajar matematika yang sesuai dengan budaya setempat, bersifat etis dan tidak melanggar norma yang ada
• mengembangkan dan mengimplementasikan pembelajaran matematika kontekstual dan realistik
• bekerjasama dengan kolega atau sesama guru, sekolah dan orang tua murid dalam pengembangan sumber-sumber belajar matematika
3. Guru mampu menyiapkan dan menggunakan alat bantu pembelajaran matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan lembar kerja siswa (LKS) baik untuk klasikal, kelompok maupun individu; serta untuk berbagai tujuan pencapaian kompetensi matematika misalnya pemahaman konsep, prosedur, latihan soal atau menemukan konsep atau pola
• mengembangkan dan mengimplementasikan alat peraga (teaching aid) pembelajaran matematika berdasarkan kajian konsep matematika dan berbagai pendekatan untuk memahaminya
• mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi informatika (ICT) misalnya kalkulator, internet, website dan blog
• bekerjasama dengan kolega atau sesama guru, sekolah dan orang tua murid dalam pengembangan alat bantu pembelajaran matematika
C. Profesional Dalam Meningkatkan Profesi Kependidikan Matematika
1. Guru menguasai dasar-dasar kompetensi global kependidikan matematika
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kecenderungan global kependidikan matematika dalam segala aspeknya
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kebutuhan minimal komunikasi global tentang kependidikan matematika (Bahasa Inggris)
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kebutuhan minimal komunikasi global tentang peningkatan profesi kependidikan matematika misal tata cara penulisan karya ilmiah, penelitian, dan akses internasional, simposium dan seminar internasional
2. Guru mampu merefleksikan profesi kependidikan matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan cara-cara mengetahui kompetensi kependidikan matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan peningkatan kompetensi kependidikan matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai cara melakukan kegiatan penelitian kelas pembelajaran matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan cara-cara melakukan inovasi pembelajaran matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
3. Guru aktif sebagai anggota profesi pendidikan matematika
• menyadari dan terlibat dalam berbagai kegiatan profesi kependidikan matematika
• berperan aktif dalam mengembangkan organisasi profesi kependidikan matematika
• memahami dan dapat mengimplementasikan peran, kedudukannya, hak dan kewajiban guru dalam sistem pendidikan baik daerah, propinsi maupun nasional
• memahami dan dapat mengimplementasikan kode etik organisasi profesi kependidikan matematika
• memahami dan dapat memanfaatkan potensi organisasi profesi untuk peningkatan kompetensi kependidikan matematika
Oleh: Marsigit
A. Profesional Dalam Bidang Pengetahuan Matematika dan Pendidikan Matematika
1. Guru menguasai matematika sekolah
• mempunyai pengetahuan tentang materi, proses atau prosedur serta keterampilan menyelesaikan persoalan matematika
• mengetahui ruang lingkup, jenis dan macam-macam matematika sekolah
• menguasai pendekatan pedagogis untuk mempelajari matematika sekolah
• mengetahui berbagai kompetensi matematika sekolah yang harus dikuasai para siswa
• mengetahui dan dapat mengimplementasikan interaksi antara siswa dan matematika sekolah
• mengetahui dan dapat mengimplementasikan bagaimana mengetahui pencapaian kompetensi matematika sekolah
2. Guru memahami hakekat siswa belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan komunikasi dengan siswa pebelajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan pelayanan terhadap kebutuhan siswa belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan prinsip “education for all” dalam pembelajaran matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai cara untuk mengetahui berbagai macam perbedaan kemampuan siswa belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai cara untuk mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan budaya siswa belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan pengetahuan tentang kemampuan prasyarat dan kegiatan remedial kesulitan belajar matematika
• menguasai dan mengimplementasikan kode etik pembelajaran matematika
• mengkomunikasikan persiapan, proses dan hasil belajar matematika kepada pihak-pihak terkait, misal sekolah dan orang tua murid
3. Guru menguasai berbagai metode pembelajaran matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai teori belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai model belajar matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai kegiatan penelitian kelas pembelajaran matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai model-model pembelajaran matematika
• menguasai dan mengimplementasikan berbagai metode penilaian berbasis kelas dan mendokumentasikannya untuk berbagai keperluan
B. Profesional Dalam Melaksanakan Pembelajaran Matematika
1. Guru mampu mengembangkan Rencana Pembelajaran
• menggunakan segenap pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya untuk merencanakan pembelajaran matematika baik pada level klasikal, kelompok maupun individual
• mengembangkan rencana pembelajaran (RPP) yang memuat segenap aspek kompetensi, indikator, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, pemanfaatan alat bantu atau media pembelajaran, serta metode penilaian atau assesmen.
• merencanakan struktur pembelajaran, skema interaksi, skema kegiatan siswa dan skema pencapaian kompetensi siswa
• merencanakan kegiatan refleksi belajar matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan silabus pembelajaran matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum pembelajaran matematika
2. Guru mampu menyiapkan lingkungan belajar matematika
• menjamin bahwa dalam belajar matematika, siswa merasa aman, nyaman dan menunjang pencapaian kompetensi matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan pemanfaatan sumber belajar matematika baik dari dalam kelas maupun dari luar kelas
• memfasilitasi kebutuhan siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar matematika baik dalam klasikal, kelompok maupun individual
• mengorganisasi dan mengelola sumber-sumber belajar matematika
• menjamin lingkungan belajar matematika yang sesuai dengan budaya setempat, bersifat etis dan tidak melanggar norma yang ada
• mengembangkan dan mengimplementasikan pembelajaran matematika kontekstual dan realistik
• bekerjasama dengan kolega atau sesama guru, sekolah dan orang tua murid dalam pengembangan sumber-sumber belajar matematika
3. Guru mampu menyiapkan dan menggunakan alat bantu pembelajaran matematika
• mengembangkan dan mengimplementasikan lembar kerja siswa (LKS) baik untuk klasikal, kelompok maupun individu; serta untuk berbagai tujuan pencapaian kompetensi matematika misalnya pemahaman konsep, prosedur, latihan soal atau menemukan konsep atau pola
• mengembangkan dan mengimplementasikan alat peraga (teaching aid) pembelajaran matematika berdasarkan kajian konsep matematika dan berbagai pendekatan untuk memahaminya
• mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi informatika (ICT) misalnya kalkulator, internet, website dan blog
• bekerjasama dengan kolega atau sesama guru, sekolah dan orang tua murid dalam pengembangan alat bantu pembelajaran matematika
C. Profesional Dalam Meningkatkan Profesi Kependidikan Matematika
1. Guru menguasai dasar-dasar kompetensi global kependidikan matematika
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kecenderungan global kependidikan matematika dalam segala aspeknya
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kebutuhan minimal komunikasi global tentang kependidikan matematika (Bahasa Inggris)
• menguasai dan mampu mengimplementasikan kebutuhan minimal komunikasi global tentang peningkatan profesi kependidikan matematika misal tata cara penulisan karya ilmiah, penelitian, dan akses internasional, simposium dan seminar internasional
2. Guru mampu merefleksikan profesi kependidikan matematika
• menguasai dan dapat mengimplementasikan cara-cara mengetahui kompetensi kependidikan matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan peningkatan kompetensi kependidikan matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan berbagai cara melakukan kegiatan penelitian kelas pembelajaran matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
• menguasai dan dapat mengimplementasikan cara-cara melakukan inovasi pembelajaran matematika baik secara mandiri maupun secara bersama-sama
3. Guru aktif sebagai anggota profesi pendidikan matematika
• menyadari dan terlibat dalam berbagai kegiatan profesi kependidikan matematika
• berperan aktif dalam mengembangkan organisasi profesi kependidikan matematika
• memahami dan dapat mengimplementasikan peran, kedudukannya, hak dan kewajiban guru dalam sistem pendidikan baik daerah, propinsi maupun nasional
• memahami dan dapat mengimplementasikan kode etik organisasi profesi kependidikan matematika
• memahami dan dapat memanfaatkan potensi organisasi profesi untuk peningkatan kompetensi kependidikan matematika
Oleh: Marsigit
Jumat, 22 April 2011
STANDAR PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Pembelajaran Matematika yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Matematics atau NCTM (2000) menggariskan, bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Ada lima standar proses dalam pembelajaran matematika, yaitu: pertama, belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); kedua, belajar untuk bernalar dan bukti (mathematical reasoning and proof); ketiga, belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); keempat, belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan kelima, belajar untuk mempresentasikan (mathematics representation). Pada tugas yang ke-4 ini akan ditelaah kelima standar proses yang telah disebutkan di atas satu per satu, yaitu sebagai berikut :
1. Pemecahan masalah matematika (mathematical problem solving)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari sesuatu yang namanya masalah, sehingga pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran matematika. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon siswa. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh prosedur rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Apabila kita menerapkan pengetahuan matematika, keterampilan atau pengalaman untuk memecahkan suatu dilemma atau situasi yang baru atau yang membingungkan, maka kita sedang memecahkan masalah. Untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, siswa membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah dalam bidang matematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Aktivitas-aktivitas yang tercakup dalam kegiatan pemecahan masalah, meliputi: mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah situasi sehari-hari dan metematik; menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika; menjelaskan/ menginterpretasikan hasil sesuai masalah asal; menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna. Strategi untuk memecahkan suatu masalah matematika bergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Strategi pemecahan masalah yang bersifat umum, untuk memecahkan suatu masalah ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:
a. Memahami masalah, kegiatan dapat yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data) yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).
b. Merencanakan pemecahannya, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat konjektur).
c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.
d. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.
Dengan demikian inti dari belajar memecahkan masalah, supaya siswa terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya mengandalkan ingatan yang baik saja, tetapi siswa diharapkan dapat mengaitkan dengan situasi nyata yang pernah dialaminya atau yang pernah dipikirkannya. Kemudian siswa bereksplorasi dengan benda kongkrit, lalu siswa akan mempelajari ide-ide matematika secara informal, selanjutnya belajar matematika secara formal.
2. Penalaran dan pembuktian matematika (mathematical reasoning and proof )
Yang dimaksudkan siswa memiliki kemampuan memberi alasan yang masuk akal, belajar untuk bernalar dan pembuktian adalah siswa mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan dengan cara untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat individual disebut penalaran induktif. Tetapi dapat pula sebaliknya, dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual, penalaran seperti itu disebut penalaran deduktif. Penalaran matematis penting untuk mengetahui dan mengerjakan matematika. Kemampuan untuk bernalar menjadikan siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya, di dalam dan di luar sekolah. Kapanpun kita menggunakan penalaran untuk memvalidasi pemikiran kita, maka kita meningkatkan rasa percaya diri dengan matematika dan berpikir secara matematik. Adapun aktivitas yang tercakup di dalam kegiatan penalaran matematik meliputi: menarik kesimpulan logis; menggunakan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan hubungan; untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji konjektur; memberikan lawan contoh (counter example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argument; menyusun argument yang valid; menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi matematik.
Secara rinci pembelajaran ini bertujuan untuk memberdayakan anak sampai pada tingkat:
1.Mengenali dan meyakini bahwa memberikan alasan yang masuk akal (bernalar) dan bentuk pembuktian adalah aspek yang mendasar di dalam belajar matematika.
2.Membuat dan memeriksa kembali perkiraan matematika yang telah diduga sebelumnya.
3.Mengembangkan dan mengevaluasi pernyataan matematika dan pembuktiannya.
4.Memilih dan menggunakan berbagai macam bentuk penalaran dan metode pembuktian.
Bernalar secara sistematis adalah keistimewan yang pasti ada pada matematika. Menyelidiki , mencari kebenaran, dan menggunakan perkiraan matematika pada umumnya semua terdapat pada esensi lingkup matematika, dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda pada semua jenjang. Melalui penggunaan penalaran, siswa-siswa belajar dengan matematika untuk mendapatkan pengertian. Penalaran dan mencari bukti harus konsisten dan terbentuk dari pengalaman matematika siswa terebut sejak usia 12 tahun.
Penalaran secara matematik dijadikan suatu kebiasaan yang muncul dari ide pikirannya, dan kebiasaan-kebiasaan itu harus dikembangkan secara kosisten dalam banyak hal di jenjang kelas awal. Pada semua tingkat para siswa memberi alasan secara induktif dari pola-pola dan kasus-kasus khusus. Sebagai contoh untuk membuktikan secara informal dengan kontradiksi,yaitu membuktikan bahwa 0 adalah bilangan genap adalah : ”Jika 0 bilangan ganjil maka 0 dan 1 akan menjadi dua buah bilangan ganjil dalam sebuah barisan. Tetapi ganjil genap adalah selang-seling. Maka 0 haruslah genap.
Di sekolah dasar anak harus belajar membuat pernyataan deduktif efektif yang baik. Menggunakan kebenaran matematika yang mereka tetapkan di kelas. Pada kelas akhir sekolah menengah para siswa dapat memahami dan meperoleh beberapa bukti matematika, menyimpulkan dari hipotesis-hipotesis secara logis dan deduktif dan bisa menilai isi dari suatu argumen-agumen.
Di jejang kelas sekolah menengah lebih lanjut akan belajar berbagai metode pembuktian, antara lain :
1.Pembuktian langsung.
2.Pembuktian dengan cara kontradiksi.
3.Pembuktian dengan cara kontraposisi.
4.Pembuktian dengan cara induksi matematika.
Dengan pembiasaan bernalar siswa dapat pula memutuskan metode pembuktian apa yang harus digunakan untuk menghadapi permasalahan pembuktian matematika dan mampu berpikir logis dalam mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari.
3. Komunikasi matematis (mathematical communication)
Komunikasi matematika merefleksikan pemahaman matematik dan merupakan bagian dari kekuatan matematika. Siswa-siswa mempelajari matematika seakan-akan mereka berbicara dan menulis tentang apa yang mereka sedang kerjakan. Mereka dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, ketika mereka diminta untuk memikirkan ide-ide mereka, atau berbicara dengan dan mendengarkan siswa lain, dalam berbagi ide, strategi dan solusi. Menulis mengenai matematika mendorong siswa untuk merefleksikan pekerjaan mereka dan mengklarifikasi ide-ide untuk mereka sendiri. Membaca apa yang siswa tulis adalah cara yang istimewa untuk para guru dalam mengidentifikasi pengertian dan miskonsepsi dari siswa.
Indikator komunikasi matematis menurut NCTM (1989), dapat dilihat dari:
1.Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;
2.Kemampuan memahami, mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya;
3.Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyejikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.
Komunikasi matematis meliputi kemampuan siswa:
1.menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika;
2.menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar;
3.menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbul matematika;
4.mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
5.membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis;
6.membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi;
7.menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
4. Koneksi matematika (mathematical connections)
Koneksi matematis merupakan pengaitan matematika dengan pelajaran lain, atau dengan topik lain. Koneksi matematik (Mathematical Connections) merupakan kegiatan yang meliputi:
1. mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur;
2. memahami hubungan antar topik matematik;
3.menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari;
4. memahami representasi ekuivalen konsep yang sama;
5. mencari koneksi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen;
6. menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.
Pembelajaran matematika kini telah berpindah dari pandangan mekanistik kepada pemecahan masalah, meningkatkan pemahaman, dan kemampuan berkomunikasi secara matematika dengan orang lain. Jika pada pengajaran matematika di masa lalu siswa diharapkan bekerja secara mandiri dan dapat menguasai algoritma matematika melalui latihan secara intensif. Selanjutnya kurikulum yang sekarang, matematika didesain dan dikembangkan untuk mengembangkan daya matematis siswa, melalui inovasi dan implementasi berbagai pendekatan dan metode. Hal tersebut digunakan untuk membangun kepercayaan diri atas kemampuan matematika mereka melalui proses
(1) Memecahkan masalah;
(2) Memberikanalasan induktif maupun deduktif untuk membuat,
mempertahankan, dan mengevaluasi argumen secara matematis;
(3) Berkomunikasi, menyampaikan ide/gagasan secara matematis;
(4) Mengapresiasi matematika karena keterkaitannyadengan
ilmu lain, aplikasinya pada dunia nyata.
5. Menyajikan matematika (mathematics representation)
Kemampuan manyajikan matematika (mathematics representation) merupakan standar proses yang kelima yang harus dimiliki peserta didik setelah memiliki kemampuan standar proses sebelumnya sebagai penyempurna tujuan pembelajaran matematika. Adapun kemampan menyajikan matematika meliputi antara lain :
1.Menciptakan dan menggunakan representasi untuk menyusun, merekam, dan mengokumikasikan ide matematika.
2.Dapat memilih, menggunakan dan menterjemahkan setiap representasi matematika untuk memecahkan masalah.
3.Menggunakan model penyajian dan menginterpretasikan secara fisik, sosial, dan phenomena matematika.
Penyajiannya tergantung pada pemahaman siswa terhadap konsep matematika dan keterhubungannya. Penyajian yang diikuti siswa untuk mengkomunikasikan pendekatan matematika, argumen, dan pemahaman diri mereka dan yang lain.
Ada lima standar proses dalam pembelajaran matematika, yaitu: pertama, belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); kedua, belajar untuk bernalar dan bukti (mathematical reasoning and proof); ketiga, belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); keempat, belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan kelima, belajar untuk mempresentasikan (mathematics representation). Pada tugas yang ke-4 ini akan ditelaah kelima standar proses yang telah disebutkan di atas satu per satu, yaitu sebagai berikut :
1. Pemecahan masalah matematika (mathematical problem solving)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari sesuatu yang namanya masalah, sehingga pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran matematika. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon siswa. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh prosedur rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Apabila kita menerapkan pengetahuan matematika, keterampilan atau pengalaman untuk memecahkan suatu dilemma atau situasi yang baru atau yang membingungkan, maka kita sedang memecahkan masalah. Untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, siswa membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah dalam bidang matematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Aktivitas-aktivitas yang tercakup dalam kegiatan pemecahan masalah, meliputi: mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah situasi sehari-hari dan metematik; menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika; menjelaskan/ menginterpretasikan hasil sesuai masalah asal; menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna. Strategi untuk memecahkan suatu masalah matematika bergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Strategi pemecahan masalah yang bersifat umum, untuk memecahkan suatu masalah ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:
a. Memahami masalah, kegiatan dapat yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data) yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).
b. Merencanakan pemecahannya, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat konjektur).
c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.
d. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.
Dengan demikian inti dari belajar memecahkan masalah, supaya siswa terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya mengandalkan ingatan yang baik saja, tetapi siswa diharapkan dapat mengaitkan dengan situasi nyata yang pernah dialaminya atau yang pernah dipikirkannya. Kemudian siswa bereksplorasi dengan benda kongkrit, lalu siswa akan mempelajari ide-ide matematika secara informal, selanjutnya belajar matematika secara formal.
2. Penalaran dan pembuktian matematika (mathematical reasoning and proof )
Yang dimaksudkan siswa memiliki kemampuan memberi alasan yang masuk akal, belajar untuk bernalar dan pembuktian adalah siswa mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan dengan cara untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat individual disebut penalaran induktif. Tetapi dapat pula sebaliknya, dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual, penalaran seperti itu disebut penalaran deduktif. Penalaran matematis penting untuk mengetahui dan mengerjakan matematika. Kemampuan untuk bernalar menjadikan siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya, di dalam dan di luar sekolah. Kapanpun kita menggunakan penalaran untuk memvalidasi pemikiran kita, maka kita meningkatkan rasa percaya diri dengan matematika dan berpikir secara matematik. Adapun aktivitas yang tercakup di dalam kegiatan penalaran matematik meliputi: menarik kesimpulan logis; menggunakan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan hubungan; untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji konjektur; memberikan lawan contoh (counter example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argument; menyusun argument yang valid; menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi matematik.
Secara rinci pembelajaran ini bertujuan untuk memberdayakan anak sampai pada tingkat:
1.Mengenali dan meyakini bahwa memberikan alasan yang masuk akal (bernalar) dan bentuk pembuktian adalah aspek yang mendasar di dalam belajar matematika.
2.Membuat dan memeriksa kembali perkiraan matematika yang telah diduga sebelumnya.
3.Mengembangkan dan mengevaluasi pernyataan matematika dan pembuktiannya.
4.Memilih dan menggunakan berbagai macam bentuk penalaran dan metode pembuktian.
Bernalar secara sistematis adalah keistimewan yang pasti ada pada matematika. Menyelidiki , mencari kebenaran, dan menggunakan perkiraan matematika pada umumnya semua terdapat pada esensi lingkup matematika, dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda pada semua jenjang. Melalui penggunaan penalaran, siswa-siswa belajar dengan matematika untuk mendapatkan pengertian. Penalaran dan mencari bukti harus konsisten dan terbentuk dari pengalaman matematika siswa terebut sejak usia 12 tahun.
Penalaran secara matematik dijadikan suatu kebiasaan yang muncul dari ide pikirannya, dan kebiasaan-kebiasaan itu harus dikembangkan secara kosisten dalam banyak hal di jenjang kelas awal. Pada semua tingkat para siswa memberi alasan secara induktif dari pola-pola dan kasus-kasus khusus. Sebagai contoh untuk membuktikan secara informal dengan kontradiksi,yaitu membuktikan bahwa 0 adalah bilangan genap adalah : ”Jika 0 bilangan ganjil maka 0 dan 1 akan menjadi dua buah bilangan ganjil dalam sebuah barisan. Tetapi ganjil genap adalah selang-seling. Maka 0 haruslah genap.
Di sekolah dasar anak harus belajar membuat pernyataan deduktif efektif yang baik. Menggunakan kebenaran matematika yang mereka tetapkan di kelas. Pada kelas akhir sekolah menengah para siswa dapat memahami dan meperoleh beberapa bukti matematika, menyimpulkan dari hipotesis-hipotesis secara logis dan deduktif dan bisa menilai isi dari suatu argumen-agumen.
Di jejang kelas sekolah menengah lebih lanjut akan belajar berbagai metode pembuktian, antara lain :
1.Pembuktian langsung.
2.Pembuktian dengan cara kontradiksi.
3.Pembuktian dengan cara kontraposisi.
4.Pembuktian dengan cara induksi matematika.
Dengan pembiasaan bernalar siswa dapat pula memutuskan metode pembuktian apa yang harus digunakan untuk menghadapi permasalahan pembuktian matematika dan mampu berpikir logis dalam mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari.
3. Komunikasi matematis (mathematical communication)
Komunikasi matematika merefleksikan pemahaman matematik dan merupakan bagian dari kekuatan matematika. Siswa-siswa mempelajari matematika seakan-akan mereka berbicara dan menulis tentang apa yang mereka sedang kerjakan. Mereka dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, ketika mereka diminta untuk memikirkan ide-ide mereka, atau berbicara dengan dan mendengarkan siswa lain, dalam berbagi ide, strategi dan solusi. Menulis mengenai matematika mendorong siswa untuk merefleksikan pekerjaan mereka dan mengklarifikasi ide-ide untuk mereka sendiri. Membaca apa yang siswa tulis adalah cara yang istimewa untuk para guru dalam mengidentifikasi pengertian dan miskonsepsi dari siswa.
Indikator komunikasi matematis menurut NCTM (1989), dapat dilihat dari:
1.Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;
2.Kemampuan memahami, mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya;
3.Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyejikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.
Komunikasi matematis meliputi kemampuan siswa:
1.menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika;
2.menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar;
3.menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbul matematika;
4.mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
5.membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis;
6.membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi;
7.menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
4. Koneksi matematika (mathematical connections)
Koneksi matematis merupakan pengaitan matematika dengan pelajaran lain, atau dengan topik lain. Koneksi matematik (Mathematical Connections) merupakan kegiatan yang meliputi:
1. mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur;
2. memahami hubungan antar topik matematik;
3.menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari;
4. memahami representasi ekuivalen konsep yang sama;
5. mencari koneksi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen;
6. menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.
Pembelajaran matematika kini telah berpindah dari pandangan mekanistik kepada pemecahan masalah, meningkatkan pemahaman, dan kemampuan berkomunikasi secara matematika dengan orang lain. Jika pada pengajaran matematika di masa lalu siswa diharapkan bekerja secara mandiri dan dapat menguasai algoritma matematika melalui latihan secara intensif. Selanjutnya kurikulum yang sekarang, matematika didesain dan dikembangkan untuk mengembangkan daya matematis siswa, melalui inovasi dan implementasi berbagai pendekatan dan metode. Hal tersebut digunakan untuk membangun kepercayaan diri atas kemampuan matematika mereka melalui proses
(1) Memecahkan masalah;
(2) Memberikanalasan induktif maupun deduktif untuk membuat,
mempertahankan, dan mengevaluasi argumen secara matematis;
(3) Berkomunikasi, menyampaikan ide/gagasan secara matematis;
(4) Mengapresiasi matematika karena keterkaitannyadengan
ilmu lain, aplikasinya pada dunia nyata.
5. Menyajikan matematika (mathematics representation)
Kemampuan manyajikan matematika (mathematics representation) merupakan standar proses yang kelima yang harus dimiliki peserta didik setelah memiliki kemampuan standar proses sebelumnya sebagai penyempurna tujuan pembelajaran matematika. Adapun kemampan menyajikan matematika meliputi antara lain :
1.Menciptakan dan menggunakan representasi untuk menyusun, merekam, dan mengokumikasikan ide matematika.
2.Dapat memilih, menggunakan dan menterjemahkan setiap representasi matematika untuk memecahkan masalah.
3.Menggunakan model penyajian dan menginterpretasikan secara fisik, sosial, dan phenomena matematika.
Penyajiannya tergantung pada pemahaman siswa terhadap konsep matematika dan keterhubungannya. Penyajian yang diikuti siswa untuk mengkomunikasikan pendekatan matematika, argumen, dan pemahaman diri mereka dan yang lain.
Kamis, 21 April 2011
BAGUSKAH EVALUASI SISTEM PERANGKINGAN ?
Orang tua pasti sangat bangga jika anaknya mendapat rangking di atas rata-rata dalam kelasnya. Ini menandakan bahwa anaknya lebih pintar dari yang lain dan si anakpun merasa puas dengan apa yang diperolehnya. Padahal dengan perangkingan seperti ini akan memberikan efek psikologis yang sangat buruk pada anak.
Marilah kita perhatikan uraian dari Anita lie dalam bukunya Cooperative Learning:
Sistem peringkat jelas menanmkan jiwa kompetitif (bersaing). Sejak masa awal pendidikan formal, siswa dipacu agar bisa menjadi lebih baik dari teman-teman sekelas. Sistem kompetisi ini tampak sangat mendominasi dunia pendidikan. Siswa yang jauh melebihi kebanyakan siswa lainnya dianggap berprestasi, sedangkan yang kemampuannya berada di bawah rata-rata kelas dianggap gagal. Sistem semacam ini mengajarkan nilai-nilai survival of the fit-test atau siapa yang kuat dialah yang menang.
Tak pelak lagi, banyak perasaaan negatif timbul dalam diri anak didik terhadap sekolah, pelajaran, guru ataupun teman sekles. Dalam benak anak didik, sekolah adalah arena pertarungan yang akan menentukan apakah dia menang atau kalah. Guru adalah dewa yang siap menempelkan label-label pandai, sedang atau bodoh di dahi anak didik. Teman sekelas adalah musuh. Karena, agar seseorang bisa menjadi pemenang harus mampu mengalahkan teman-teman sekelas. Perasaan negatif ini bisa muncul, baik pada siswa lamban maupun mereka yang pandai. Selain merasa minder, siswa lamban jadi membenci teman-temannya yang lebih pandai karena dianggap menaikkan rata-rata kelas sehingga memposisikan prestasi mereka yang lamban pada peringkat bawah. Sebaliknya, siswa yang pandai menjadi terbiasa untuk merasa puas dan bangga pada diri sendiri di atas kekalahan teman-teman sekelasnya.
Karena ketatnya sistem persaingan (kompetisi), dunia pendidikan telah menelurkan manusia-manusia yang siap untuk menerjang dan menjegal orang lain demi kesuksesan diri sendiri. Homo homini lupus merupakan prinsip dasar dalam dunia kompetisi. Orang-orang ini tidak pernah atau sedikit sekali dibekali kemampuan untuk bisa bekerja sama dengan orang lain. Padahal, dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam dunia pekerjaan, kemampuan untuk bersinergi (bekerja sama) merupakan kunci keberhasilan.
Marilah kita perhatikan uraian dari Anita lie dalam bukunya Cooperative Learning:
Sistem peringkat jelas menanmkan jiwa kompetitif (bersaing). Sejak masa awal pendidikan formal, siswa dipacu agar bisa menjadi lebih baik dari teman-teman sekelas. Sistem kompetisi ini tampak sangat mendominasi dunia pendidikan. Siswa yang jauh melebihi kebanyakan siswa lainnya dianggap berprestasi, sedangkan yang kemampuannya berada di bawah rata-rata kelas dianggap gagal. Sistem semacam ini mengajarkan nilai-nilai survival of the fit-test atau siapa yang kuat dialah yang menang.
Tak pelak lagi, banyak perasaaan negatif timbul dalam diri anak didik terhadap sekolah, pelajaran, guru ataupun teman sekles. Dalam benak anak didik, sekolah adalah arena pertarungan yang akan menentukan apakah dia menang atau kalah. Guru adalah dewa yang siap menempelkan label-label pandai, sedang atau bodoh di dahi anak didik. Teman sekelas adalah musuh. Karena, agar seseorang bisa menjadi pemenang harus mampu mengalahkan teman-teman sekelas. Perasaan negatif ini bisa muncul, baik pada siswa lamban maupun mereka yang pandai. Selain merasa minder, siswa lamban jadi membenci teman-temannya yang lebih pandai karena dianggap menaikkan rata-rata kelas sehingga memposisikan prestasi mereka yang lamban pada peringkat bawah. Sebaliknya, siswa yang pandai menjadi terbiasa untuk merasa puas dan bangga pada diri sendiri di atas kekalahan teman-teman sekelasnya.
Karena ketatnya sistem persaingan (kompetisi), dunia pendidikan telah menelurkan manusia-manusia yang siap untuk menerjang dan menjegal orang lain demi kesuksesan diri sendiri. Homo homini lupus merupakan prinsip dasar dalam dunia kompetisi. Orang-orang ini tidak pernah atau sedikit sekali dibekali kemampuan untuk bisa bekerja sama dengan orang lain. Padahal, dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam dunia pekerjaan, kemampuan untuk bersinergi (bekerja sama) merupakan kunci keberhasilan.
Selasa, 19 April 2011
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CIRC
CIRC singkatan dari Cooperative Integrated Reading and Compotition, termasuk salah satu model pembelajaran cooperative learning yang pada mulanya merupakan pengajaran kooperatif terpadu membaca dan menulis (Steven dan Slavin dalam Nur, 2000:8) yaitu sebuah program komprehensif atau luas dan lengkap untuk pengajaran membaca dan menulis untuk kelas-kelas tinggi sekolah dasar. Namun, CIRC telah berkembang bukan hanya dipakai pada pelajaran bahasa tetapi juga pelajaran eksak seperti pelajaran matematika.
Dalam model pembelajaran CIRC, siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen, yang terdiri atas 4 atau 5 siswa. Dalam kelompok ini tidak dibedakan atas jenis kelamin, suku/bangsa, atau tingkat kecerdasan siswa. Jadi, dalam kelompok ini sebaiknya ada siswa yang pandai, sedang atau lemah, dan masing-masing siswa merasa cocok satu sama lain. Dengan pembelajaran kooperatif, diharapkan para siswa dapat meningkatkan cara berfikir kritis, kreatif dan menumbuhkan rasa sosial yang tinggi.
a. Komponen-komponen dalam pembelajaran CIRC
Model pembelajaran CIRC menurut Slavin dalam Suyitno (2005: 3-4) memiliki delapan komponen. Kedelapan komponen tersebut antara lain: (1). Teams, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 atau 5 siswa; (2). Placement test, misalnya diperoleh dari rata-rata nilai ulangan harian sebelumnya atau berdasarkan nilai rapor agar guru mengetahui kelebihan dan kelemahan siswa pada bidang tertentu; (3). Student creative, melaksanakan tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya; (4). Team study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberika bantuan kepada kelompok yang membutuhkannya; (5). Team scorer and team recognition, yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas; (6). Teaching group, yakni memberikan materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok; (7). Facts test, yaitu pelaksanaan test atau ulangan berdasarkan fakta yang diperoleh siswa; (8). Whole-class units, yaitu pemberian rangkuman materi oleh guru di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
b. Kegiatan pokok pembelajaran CIRC
Kegiatan pokok dalam CIRC untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah meliputi rangkaian kegiatan bersama yang spesifik, yaitu: (1). Salah satu anggota atau beberapa kelompok membaca soal, (2). Membuat prediksi atau menafsirkan isi soal pemecahan masalah, termasuk menuliskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan dan memisalkan yang ditanyakan dengan suatu variabel, (3). Saling membuat ikhtisar/rencana penyelesaian soal pemecahan masalah, (4). Menuliskan penyelesaian soal pemecahan masalah secara urut, dan (5). Saling merevisi dan mengedit pekerjaan/penyelesaian (Suyitno, 2005:4).
c. Penerapan model pembelajaran CIRC
Penerapan model pembelajaran CIRC untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat ditempuh dengan:
1). Guru menerangkan suatu pokok bahasan matematika kepada siswa, pada penelitian ini digunakan LKS yang berisi materi yang akan diajarkan pada setiap pertemuan
2). Guru memberikan latihan soal
3). Guru siap melatih siswa untuk meningkatkan keterampilan siswanya dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah melalui penerapan model CIRC
4). Guru membentuk kelompok-kelompok belajar siswa yang heterogen
5). Guru mempersiapkan soal pemecahan masalah dalam bentuk kartu masalah dan membagikannya kepada setiap kelompok
6). Guru memberitahukan agar dalam setiap kelompok terjadi serangkaian kegiatan bersama yang spesifik
7). Setiap kelompok bekerja berdasarkan kegiatan pokok CIRC. Guru mengawasi kerja kelompok
8). Ketua kelompok melaporkan keberhasilan atau hambatan kelompoknya
9). Ketua kelompok harus dapat menetapkan bahwa setiap anggota telah memahami, dan dapat mengerjakan soal pemecahan masalah yang diberikan
10). Guru meminta kepada perwakilan kelompok untuk menyajikan temuannya
11). Guru bertindak sebagai nara sumber atau fasilitator
12). Guru memberikan tugas/PR secara individual
13). Guru membubarkan kelompok dan siswa kembali ke tempat duduknya
14). Guru mengulang secara klasikal tentang strategi penyelesaian soal pemecahan masalah
15). Guru memberikan kuis
d. Kekuatan model pembelajaran CIRC
Secara khusus, Slavin dalam Suyitno (2005:6) menyebutkan kelebihan model pembelajaran CIRC sebagai berikut:
1). CIRC amat tepat untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
2). Dominasi guru dalam pembelajaran berkurang
3). Siswa termotivasi pada hasil secara teliti, karena bekerja dalam kelompok
4). Para siswa dapat memahami makna soal dan saling mengecek pekerjaannya
5). Membantu siswa yang lemah
6). Meningkatkan hasil belajar khususnya dalam menyelesaikan soal yang berbentuk pemecahan masalah
Dalam model pembelajaran CIRC, siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen, yang terdiri atas 4 atau 5 siswa. Dalam kelompok ini tidak dibedakan atas jenis kelamin, suku/bangsa, atau tingkat kecerdasan siswa. Jadi, dalam kelompok ini sebaiknya ada siswa yang pandai, sedang atau lemah, dan masing-masing siswa merasa cocok satu sama lain. Dengan pembelajaran kooperatif, diharapkan para siswa dapat meningkatkan cara berfikir kritis, kreatif dan menumbuhkan rasa sosial yang tinggi.
a. Komponen-komponen dalam pembelajaran CIRC
Model pembelajaran CIRC menurut Slavin dalam Suyitno (2005: 3-4) memiliki delapan komponen. Kedelapan komponen tersebut antara lain: (1). Teams, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 atau 5 siswa; (2). Placement test, misalnya diperoleh dari rata-rata nilai ulangan harian sebelumnya atau berdasarkan nilai rapor agar guru mengetahui kelebihan dan kelemahan siswa pada bidang tertentu; (3). Student creative, melaksanakan tugas dalam suatu kelompok dengan menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya; (4). Team study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberika bantuan kepada kelompok yang membutuhkannya; (5). Team scorer and team recognition, yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas; (6). Teaching group, yakni memberikan materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok; (7). Facts test, yaitu pelaksanaan test atau ulangan berdasarkan fakta yang diperoleh siswa; (8). Whole-class units, yaitu pemberian rangkuman materi oleh guru di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
b. Kegiatan pokok pembelajaran CIRC
Kegiatan pokok dalam CIRC untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah meliputi rangkaian kegiatan bersama yang spesifik, yaitu: (1). Salah satu anggota atau beberapa kelompok membaca soal, (2). Membuat prediksi atau menafsirkan isi soal pemecahan masalah, termasuk menuliskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan dan memisalkan yang ditanyakan dengan suatu variabel, (3). Saling membuat ikhtisar/rencana penyelesaian soal pemecahan masalah, (4). Menuliskan penyelesaian soal pemecahan masalah secara urut, dan (5). Saling merevisi dan mengedit pekerjaan/penyelesaian (Suyitno, 2005:4).
c. Penerapan model pembelajaran CIRC
Penerapan model pembelajaran CIRC untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat ditempuh dengan:
1). Guru menerangkan suatu pokok bahasan matematika kepada siswa, pada penelitian ini digunakan LKS yang berisi materi yang akan diajarkan pada setiap pertemuan
2). Guru memberikan latihan soal
3). Guru siap melatih siswa untuk meningkatkan keterampilan siswanya dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah melalui penerapan model CIRC
4). Guru membentuk kelompok-kelompok belajar siswa yang heterogen
5). Guru mempersiapkan soal pemecahan masalah dalam bentuk kartu masalah dan membagikannya kepada setiap kelompok
6). Guru memberitahukan agar dalam setiap kelompok terjadi serangkaian kegiatan bersama yang spesifik
7). Setiap kelompok bekerja berdasarkan kegiatan pokok CIRC. Guru mengawasi kerja kelompok
8). Ketua kelompok melaporkan keberhasilan atau hambatan kelompoknya
9). Ketua kelompok harus dapat menetapkan bahwa setiap anggota telah memahami, dan dapat mengerjakan soal pemecahan masalah yang diberikan
10). Guru meminta kepada perwakilan kelompok untuk menyajikan temuannya
11). Guru bertindak sebagai nara sumber atau fasilitator
12). Guru memberikan tugas/PR secara individual
13). Guru membubarkan kelompok dan siswa kembali ke tempat duduknya
14). Guru mengulang secara klasikal tentang strategi penyelesaian soal pemecahan masalah
15). Guru memberikan kuis
d. Kekuatan model pembelajaran CIRC
Secara khusus, Slavin dalam Suyitno (2005:6) menyebutkan kelebihan model pembelajaran CIRC sebagai berikut:
1). CIRC amat tepat untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
2). Dominasi guru dalam pembelajaran berkurang
3). Siswa termotivasi pada hasil secara teliti, karena bekerja dalam kelompok
4). Para siswa dapat memahami makna soal dan saling mengecek pekerjaannya
5). Membantu siswa yang lemah
6). Meningkatkan hasil belajar khususnya dalam menyelesaikan soal yang berbentuk pemecahan masalah
Jumat, 15 April 2011
Menumbuhkan Minat Siswa terhadap Matematika
Adanya mitos-mitos tentang matematika membuat hampir semua orang menjauhi pelajaran matematika. Nah, sekarang bagaimana kita mengupayakan agar matematika bisa memasyarakat. Dalam artian, bagaimana masyarakat itu mengetahui matematika secara utuh, sehingga tidak ada kepincangan informasi di masyarakat. Karena informasi parsial yang diterima masyarakat merupakan salah satu akar permasalahan yang menimbulkan matematika tidak memasyarakat. Kepincangan informasi tersebut yang mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap matematika menimbulkan kesan negatif. Dengan deminikan, cara yang paling efektif, menurut hemat penulis dalam rangka memasyarakatkan konsep matematika secara utuh adalah melalui siswa yang sedang belajar matematika di bangku sekolah. Lalu, bagaimana seharusnya proses pendidikan atau pembelajaran matematika di sekolah itu diselenggarakan? Mungkinkah menghadirkan pendidikan matematika tidak lagi dipandang sebagai momok yang menyeramkan?
Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan pendidikan matematika di sekolah, pertama kali yang harus dilaksnakan adalah bagaimana menumbuhkan kembali manat siswa terhadap matematika. Sebab tanpa adanya minat, siswa akan sulit untuk mau belajar, dan kemudian menguasai matematika secara sempurna. Menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika akan sangat terkait dengan berbagai aspek yang melingkupi proses pembelajaran matematika di sekolah. Aspek-aspek itu menyangkut pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran matematika, metode pengajaran, maupun aspek-aspek lain yang mungkin tidak secara langsung berhubungqan dengan proses pembelajaran matematika, misalnya sikap orang tua (atau masyarakat pada umumnya) terhadap matematika.
Untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika, pembelajaran matematika di sekolah dalam penyajiannya harus diupayakan dengan cara yang lebih menarik bagi siswa. Apalagi matematika sebenarnya memiliki banyak sisi yang menarik. Namun, sering kali sisi tersebut tidak dihadirkan dalam proses pembelajaran matematika. Akibatnya, siswa mengenal matematika tidak secara utuh. Matematika hanya dikenal oleh siswa sebagai kumpulan rumus, angka dan simbol belaka.
Pembelajaran matematika di sekolah tidak dapat dilepaskan dari pendekatan yang digunakan oleh guru. Pendekatan tersebut biasanya dipengaruhi oleh pemahaman guru tentang sifat matematika, bukan oleh apa yang diyakini plaing baik untuk proses pembelajaran matematika di kelas. Guru yang memandang matematika sebgai produk yang sudah jadi akan mengarahkan proseis pembelajaran siswa untuk menerima pengetahuan yang sudah jadi. Guru akan cenderung mengisi pikirian siswa dengan sesuatu yang jadi. Sementara guru yang memandang bahwa matematika merupakan suatu proses, akan lebih menekankan aspek proses daripada aspek produk dalam pembelajaran matematika (Marpaung 1998).
Namun sayang, pendidikan matematika di negeri ini sudah terlanjur dan banyak “luka psikologis” yang diderita siswa berkaitan dengan pendidikan matematika. Untuk dapat menyembuhkan luka psikologis tersebut, peran seorang guru sangat besar sehingga minat siswa terhadap matematika tumbuh subur kembali. Di samping peran guru, peran siswa, orangtua dan pihak lain yang secaraq langsung maupun tidak langsung tgerlibat dalam proses pembelajaran matematika di sekolah juga ikut mendukung, agar pendidikan matematika di sekolah juga ikut mendukung, agar pendidikan matematika di sekolah dapat berlangsung dengan baik dan sampai pada tujuannya. Antara satu komponen dan komponen lain yang terlibat dalam pendidikan matematika diharapkan dapat saling menginspirasi atar pembelajaran matematika di sekolah mendjadi lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan, lebih dinamis dan humanis.
Berbagai usaha yang dilakukan dalam proses pembelajarqan matematika di sekolah tersebut, diharapkan matematika tidak lagi dipandang secara parsial oleh siswa, guru, masyarakat atau pihak lain. Melainkan mereka dapat memandang matematika secara utuh yang pada akhirnya dapat memacu dan berpartisipasi untuk membangun peradaban dunia demi kemajuan sains dan teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi ummat manusia.
(disadur dari buku: Mathematical Intelligence)
Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan pendidikan matematika di sekolah, pertama kali yang harus dilaksnakan adalah bagaimana menumbuhkan kembali manat siswa terhadap matematika. Sebab tanpa adanya minat, siswa akan sulit untuk mau belajar, dan kemudian menguasai matematika secara sempurna. Menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika akan sangat terkait dengan berbagai aspek yang melingkupi proses pembelajaran matematika di sekolah. Aspek-aspek itu menyangkut pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran matematika, metode pengajaran, maupun aspek-aspek lain yang mungkin tidak secara langsung berhubungqan dengan proses pembelajaran matematika, misalnya sikap orang tua (atau masyarakat pada umumnya) terhadap matematika.
Untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika, pembelajaran matematika di sekolah dalam penyajiannya harus diupayakan dengan cara yang lebih menarik bagi siswa. Apalagi matematika sebenarnya memiliki banyak sisi yang menarik. Namun, sering kali sisi tersebut tidak dihadirkan dalam proses pembelajaran matematika. Akibatnya, siswa mengenal matematika tidak secara utuh. Matematika hanya dikenal oleh siswa sebagai kumpulan rumus, angka dan simbol belaka.
Pembelajaran matematika di sekolah tidak dapat dilepaskan dari pendekatan yang digunakan oleh guru. Pendekatan tersebut biasanya dipengaruhi oleh pemahaman guru tentang sifat matematika, bukan oleh apa yang diyakini plaing baik untuk proses pembelajaran matematika di kelas. Guru yang memandang matematika sebgai produk yang sudah jadi akan mengarahkan proseis pembelajaran siswa untuk menerima pengetahuan yang sudah jadi. Guru akan cenderung mengisi pikirian siswa dengan sesuatu yang jadi. Sementara guru yang memandang bahwa matematika merupakan suatu proses, akan lebih menekankan aspek proses daripada aspek produk dalam pembelajaran matematika (Marpaung 1998).
Namun sayang, pendidikan matematika di negeri ini sudah terlanjur dan banyak “luka psikologis” yang diderita siswa berkaitan dengan pendidikan matematika. Untuk dapat menyembuhkan luka psikologis tersebut, peran seorang guru sangat besar sehingga minat siswa terhadap matematika tumbuh subur kembali. Di samping peran guru, peran siswa, orangtua dan pihak lain yang secaraq langsung maupun tidak langsung tgerlibat dalam proses pembelajaran matematika di sekolah juga ikut mendukung, agar pendidikan matematika di sekolah juga ikut mendukung, agar pendidikan matematika di sekolah dapat berlangsung dengan baik dan sampai pada tujuannya. Antara satu komponen dan komponen lain yang terlibat dalam pendidikan matematika diharapkan dapat saling menginspirasi atar pembelajaran matematika di sekolah mendjadi lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan, lebih dinamis dan humanis.
Berbagai usaha yang dilakukan dalam proses pembelajarqan matematika di sekolah tersebut, diharapkan matematika tidak lagi dipandang secara parsial oleh siswa, guru, masyarakat atau pihak lain. Melainkan mereka dapat memandang matematika secara utuh yang pada akhirnya dapat memacu dan berpartisipasi untuk membangun peradaban dunia demi kemajuan sains dan teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi ummat manusia.
(disadur dari buku: Mathematical Intelligence)
Rabu, 13 April 2011
Kalkulator dan Logika Anak
Alat bantu belajar bernama kalkulator memang meringankan tugas siswa sekolah. Tetapi apabila selalu menggantungkan alat tersebut dalam setiap menyelesaikan soal-soal matematika, justru akan merusak kemandirian anak dalam berhitung. Pada gilirannya, mereka terbiasa dengan output dan input, tanpa memahami proses demi proses terjadinya keduanya.
MEMANG, kalkulator bisa membuat siswa sekolah menyenangi matematika. Mereka yang takut, gugup, atau pusing ketika mengerjakan soal matematika merasa terbantu saat menggunakan kalkulator, sehingga menjadi lebih bersemangat. Dengan demikian, pada satu sisi, kalkulator harus dipandang sebagai kontributor signifikan bagi apresiasi matematika itu sendiri.
Matematikawan asal Malaysia, Prof Dr Noraini Idris, pun berpendapat kalkulator memungkinkan mata pelajaran matematika kian menarik karena adanya dorongan interaksi untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut dia, penggunaan kalkulator memberi kesempatan lebih beragam kepada anak untuk berinteraksi. Sebab mereka punya waktu ketika menggunakannya untuk menyelesaikan soal matematika ketimbang jika melakukan perhitungan secara manual. Tetapi bukan berarti kalkulator harus digunakan setiap saat. Soal simpel saja harus dilakukan dengan kalkulator. Ini sudah ketergantungan namanya, dan sangat berbahaya bagi logika masa depan si anak.
Kalkulator harus diposisikan sebagai perangsang saja, untuk mengurangi beban psikologis atau meningkatkan motivasi belajar. Kalau tekanan psikologis sudah berkurang, atau motivasi belajar sudah muncul, mulailah secara perlahan untuk mengurangi atau mengendalikan penggunaannya. Tidak perlu drastis. Mulanya sembilan dari sepuluh soal dibiarkan untuk diselesaikan dengan kalkulator. Sisanya secara manual. Tahap selanjutnya dikurangi lagi satu. Begitu seterusnya, sampai anak benar-benar siap melepas ketergantungan terhadap kalkulator. Kalau perlu tantang mereka, ’’Masak kalah dengan kalkulator’’, atau ’’Malu dong kalau pakai kalkulator terus’’. Pokoknya berikan kesan kepada anak, bahwa otak manusia harus bisa mengalahkan kalkulator.
Memahami Proses
Dengan kalkulator, anak sekolah terutama siswa-siswi SD memang bisa saja menghitung perkalian dua bilangan besar, bahkan sampai jutaan. Tetapi apa mereka memahami proses yang terjadi di belakang layar itu? Padahal proses itulah yang kelak menjadi sangat penting bagi tumbuhnya pola berpikir tuntas, detail, dan integratif untuk berbagai persoalan. Misalkan diminta menghitung perkalian 4,5 x 1,5, si anak akan menjawab 6,75 sesuai dengan apa yang tertulis pada layar kalkulator. Namun, apakah dia tahu dari mana angka tersebut berasal?
Menurut pakar pendidikan Prof Dr Arief Rachman, ada bidang matematika yang tidak boleh dipelajari dengan bantuan kalkulator. Misalnya perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. ’’Materi ini dimaksudkan untuk melatih logika anak dalam berhitung. Jika diberi bantuan kalkulator, anak tidak akan bisa memahaminya dengan baik,’’ kata Arief.
Ketergantungan anak pada kalkulator bisa menghambat sikap kritis, aktif, dan kreatif. Akhirnya tercetaklah sosok manusia berwawasan klise dalam berucap, bertindak, dan berbuat. Apa mungkin jiwa pelopor muncul pada mereka?
Adanya pertalian antarsimbol hitungan, yang seharusnya bisa menghasilkan rumusan khas, tetapi berhubung sejak awal pola belajar sudah seperti itu, maka pengungkapannya masih terasa referensial. Belum bersifat analisis atau sintensis hasil pemikiran original.
Jangka Panjang
Bagaimana pun canggih kalkulator, kemampuan berhitung anak baru dapat dikatakan modern kalau proses dan hasilnya mencerminkan kemampuannya menghadapi situasi-kondisi yang berbeda secara mandiri, sehingga mampu merumuskan jalan keluar atas setiap permasalahan. Kini timbul kesan seakan-akan berhitung secara manual memboroskan waktu. Padahal ketergantungan kepada kalkulator justru memunculkan beragam inefisiensi, misalnya terkurasnya waktu untuk mengasah otak, meski hal itu baru dirasakan dalam jangka panjang.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak orang tua menjauhkan anak dari kalkulator. Tetapi bagaimana menempatkannya secara proporsional melalui approach education. Jika anak sedang sakit kepala, kemudian harus mengerjakan soal matematika yang ditugaskan sekolah, tidak salah jika dibantu dengan kalkulator. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Sketsa di atas sekadar melukiskan, kandungan pengetahuan dalam proses jauh lebih penting ketimbang sekadar output-input. Walaupun belum merupakan barang siap pakai, ia bisa menjadi sumber referensi yang dahsyat untuk berkreasi, berimprovisasi, atau berinovasi. (Nasrullah Idris, dari Reformasi Sains Matematika Teknologi Bandung-32)
Sumber: suaramerdeka.com
MEMANG, kalkulator bisa membuat siswa sekolah menyenangi matematika. Mereka yang takut, gugup, atau pusing ketika mengerjakan soal matematika merasa terbantu saat menggunakan kalkulator, sehingga menjadi lebih bersemangat. Dengan demikian, pada satu sisi, kalkulator harus dipandang sebagai kontributor signifikan bagi apresiasi matematika itu sendiri.
Matematikawan asal Malaysia, Prof Dr Noraini Idris, pun berpendapat kalkulator memungkinkan mata pelajaran matematika kian menarik karena adanya dorongan interaksi untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut dia, penggunaan kalkulator memberi kesempatan lebih beragam kepada anak untuk berinteraksi. Sebab mereka punya waktu ketika menggunakannya untuk menyelesaikan soal matematika ketimbang jika melakukan perhitungan secara manual. Tetapi bukan berarti kalkulator harus digunakan setiap saat. Soal simpel saja harus dilakukan dengan kalkulator. Ini sudah ketergantungan namanya, dan sangat berbahaya bagi logika masa depan si anak.
Kalkulator harus diposisikan sebagai perangsang saja, untuk mengurangi beban psikologis atau meningkatkan motivasi belajar. Kalau tekanan psikologis sudah berkurang, atau motivasi belajar sudah muncul, mulailah secara perlahan untuk mengurangi atau mengendalikan penggunaannya. Tidak perlu drastis. Mulanya sembilan dari sepuluh soal dibiarkan untuk diselesaikan dengan kalkulator. Sisanya secara manual. Tahap selanjutnya dikurangi lagi satu. Begitu seterusnya, sampai anak benar-benar siap melepas ketergantungan terhadap kalkulator. Kalau perlu tantang mereka, ’’Masak kalah dengan kalkulator’’, atau ’’Malu dong kalau pakai kalkulator terus’’. Pokoknya berikan kesan kepada anak, bahwa otak manusia harus bisa mengalahkan kalkulator.
Memahami Proses
Dengan kalkulator, anak sekolah terutama siswa-siswi SD memang bisa saja menghitung perkalian dua bilangan besar, bahkan sampai jutaan. Tetapi apa mereka memahami proses yang terjadi di belakang layar itu? Padahal proses itulah yang kelak menjadi sangat penting bagi tumbuhnya pola berpikir tuntas, detail, dan integratif untuk berbagai persoalan. Misalkan diminta menghitung perkalian 4,5 x 1,5, si anak akan menjawab 6,75 sesuai dengan apa yang tertulis pada layar kalkulator. Namun, apakah dia tahu dari mana angka tersebut berasal?
Menurut pakar pendidikan Prof Dr Arief Rachman, ada bidang matematika yang tidak boleh dipelajari dengan bantuan kalkulator. Misalnya perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. ’’Materi ini dimaksudkan untuk melatih logika anak dalam berhitung. Jika diberi bantuan kalkulator, anak tidak akan bisa memahaminya dengan baik,’’ kata Arief.
Ketergantungan anak pada kalkulator bisa menghambat sikap kritis, aktif, dan kreatif. Akhirnya tercetaklah sosok manusia berwawasan klise dalam berucap, bertindak, dan berbuat. Apa mungkin jiwa pelopor muncul pada mereka?
Adanya pertalian antarsimbol hitungan, yang seharusnya bisa menghasilkan rumusan khas, tetapi berhubung sejak awal pola belajar sudah seperti itu, maka pengungkapannya masih terasa referensial. Belum bersifat analisis atau sintensis hasil pemikiran original.
Jangka Panjang
Bagaimana pun canggih kalkulator, kemampuan berhitung anak baru dapat dikatakan modern kalau proses dan hasilnya mencerminkan kemampuannya menghadapi situasi-kondisi yang berbeda secara mandiri, sehingga mampu merumuskan jalan keluar atas setiap permasalahan. Kini timbul kesan seakan-akan berhitung secara manual memboroskan waktu. Padahal ketergantungan kepada kalkulator justru memunculkan beragam inefisiensi, misalnya terkurasnya waktu untuk mengasah otak, meski hal itu baru dirasakan dalam jangka panjang.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak orang tua menjauhkan anak dari kalkulator. Tetapi bagaimana menempatkannya secara proporsional melalui approach education. Jika anak sedang sakit kepala, kemudian harus mengerjakan soal matematika yang ditugaskan sekolah, tidak salah jika dibantu dengan kalkulator. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Sketsa di atas sekadar melukiskan, kandungan pengetahuan dalam proses jauh lebih penting ketimbang sekadar output-input. Walaupun belum merupakan barang siap pakai, ia bisa menjadi sumber referensi yang dahsyat untuk berkreasi, berimprovisasi, atau berinovasi. (Nasrullah Idris, dari Reformasi Sains Matematika Teknologi Bandung-32)
Sumber: suaramerdeka.com
Selasa, 12 April 2011
Pengembangan ICT dalam Pembelajaran di SMA
Oleh:
R. Bambang Aryan Soekisno – Bogor
A. Mengapa Menggunakan ICT ?
Proses belajar mengajar (PBM) seringkali dihadapkan pada materi yang abstrak dan di luar pengalaman siswa sehari-hari, sehingga materi ini menjadi sulit diajarkan guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Gambar dua dimensi atau model tiga dimensi adalah visualisasi yang sering dilakukan dalam PBM. Pada era informatika visualisasi berkembang dalam bentuk gambar bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan suara (audio). Sajian audio visual atau lebih dikenal dengan sebutan multimedia menjadikan visualisasi lebih menarik. ICT dalam hal ini komputer dengan dukungan multimedia dapat menyajikan sebuah tampilan berupa teks nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat pengguna (user) lebih leluasa memilih, mensintesa, dan mengelaborasi pengetahuan yang ingin dipahaminya. Walhasil komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran, karena komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi, seperti yang diinginkan. Iklim afektif ini akan melibatkan penggambaran ulang berbagai objek yang ada dalam pikiran siswa. Dan iklim inilah yang membuat tingkat retensi siswa pengguna komputer multimedia lebih tinggi daripada bukan pengguna.
B. Bagaimana Karakteristik Materi Berbasis ICT ?
Sebuah pepatah menyebutkan I hear I forget, I see I Know, I do I Understand. Penelitian De Porter mengungkapkan manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dikerjakan, 50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio visual), sedangkan dari yang dilihatnya hanya 30%, dari yang didengarnya hanya 20%, dan dari yang dibaca hanya 10%. Berdasarkan ini semua, maka kegiatan hands on dalam PBM harus tetap diutamakan.
Kadang kala PBM dihadapkan pada materi yang tidak dapat dilakukan secara hands on. Misalnya suatu percobaan membutuhkan waktu lama, sedangkan waktu PBM terbatas atau benda sebenarnya sulit untuk diperlihatkan dan dieksplorasi oleh siswa. Pada saat seperti inilah diperlukan alat bantu pengajaran, salah satunya adalah pembelajaran berbasis ICT (komputer multimedia). Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan, jika ingin menggunakan komputer multimedia dalam PBM adalah mengkaji karakteristik materi. Walaupun kegiatan yang bersifat hands on dapat digantikan dengan multimedia, tetapi hal ini tidak disarankan untuk digunakan. Sebaiknya multimedia digunakan hanya untuk pembelajaran yang tidak memungkinkan dilakukan secara hands on. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan materi yang akan disajikan ke dalam bentuk wacana multimedia.
C. Bagaimana Cara Mengolah Materi yang Disajikan dengan Berbasis ICT ?
Pengolahan materi yang akan disajikan dalam bentuk multimedia dapat mengikuti tahapan pengolahan materi subyek. Tahapan tersebut adalah seleksi I, strukturisasi, seleksi II, dan reduksi .
Tahap 1. Seleksi buku
Memilih sebuah buku yang akan menjadi acuan dengan pertimbangan isi materi, tingkat kesulitan, metodologi instruksional, dan integritas keilmuan penulis.
Tahap 2. Strukturisasi
Sturkturisasi diawali dengan membuat proposisi dari teks dasar.
Setelah menentukan proposisi utama, makro, dan mikro, langkah selanjutnya adalah mengalihkannya ke bentuk outline, sehingga didapatkan sebuah model representasi teks.
Tahap 3. Seleksi materi yang sesuai kebutuhan siswa
Tidak semua materi yang ada pada topik/materi diperlukan oleh siswa. Oleh karena itu dibutuhkan pemilihan kembali terhadap materi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Tahap 4. Reduksi
Reduksi pada materi yang akan diajarkan dilakukan dengan cara penyederhanakan bahasa, visualisasi, dan penggunaan teknik historis dalam pemaparannya.
Penyederhanaan bahasa dilakukan dengan mengabaikan hal-hal kurang relevan dengan kebutuhan siswa. Visualisasi dilakukan dengan memberikan gambar dari suatu proses yang terjadi. Akan lebih mudah dipahami jika disajikan dalam bentuk gambar (visual).
D. Bagaimana Cara Menyajikan Wacana Berbasis ICT?
Aneka program komputer (software) dapat digunakan untuk membuat wacana multimedia. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan software selain kemampuan atau penguasaan terhadap software, adalah spesifikasi perangkat keras (hardware) yang tersedia di sekolah. Pertimbangan spesifikasi hardware ini sangat penting, karena hanya dengan spesifikasi hardware yang mendukung, wacana multimedia yang telah dibuat dapat berjalan dengan baik. Jika ketersediaan hardware di sekolah edisi P166 ke bawah, maka tidak disarankan membuat wacana multimedia menggunakan Macromedia Flash, untuk kondisi hardware seperti itu penggunaan program Microsoft Power Point sudah cukup memadai. Program Microsoft Power Point menampilkan menu-menu yang berguna dalam pembuatan wacana multimedia yang bersifat tutorial. Menu-menu tersebut adalah menu animasi; menu untuk memasukan (import file) suara, video, dan gambar animasi; dan menu tautan (hyperlink) untuk menghubungkan antara satu simpul (node) atau file dengan simpul atau file lainnya. Menu-menu ini menjadikan program Microsoft Power Point tidak hanya berperan sebagai alat presentasi (tools) tetapi dapat dikembangkan menjadi tutor. Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam pembuatan wacana multimedia yang sifatnya tutorial adalah ketersediaan menu-menu yang dapat diakses dan adanya ikon tutorial yang akan membimbing pengguna wacana multimedia (user).
R. Bambang Aryan Soekisno – Bogor
A. Mengapa Menggunakan ICT ?
Proses belajar mengajar (PBM) seringkali dihadapkan pada materi yang abstrak dan di luar pengalaman siswa sehari-hari, sehingga materi ini menjadi sulit diajarkan guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Gambar dua dimensi atau model tiga dimensi adalah visualisasi yang sering dilakukan dalam PBM. Pada era informatika visualisasi berkembang dalam bentuk gambar bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan suara (audio). Sajian audio visual atau lebih dikenal dengan sebutan multimedia menjadikan visualisasi lebih menarik. ICT dalam hal ini komputer dengan dukungan multimedia dapat menyajikan sebuah tampilan berupa teks nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat pengguna (user) lebih leluasa memilih, mensintesa, dan mengelaborasi pengetahuan yang ingin dipahaminya. Walhasil komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran, karena komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi, seperti yang diinginkan. Iklim afektif ini akan melibatkan penggambaran ulang berbagai objek yang ada dalam pikiran siswa. Dan iklim inilah yang membuat tingkat retensi siswa pengguna komputer multimedia lebih tinggi daripada bukan pengguna.
B. Bagaimana Karakteristik Materi Berbasis ICT ?
Sebuah pepatah menyebutkan I hear I forget, I see I Know, I do I Understand. Penelitian De Porter mengungkapkan manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70% dari apa yang dikerjakan, 50% dari apa yang didengar dan dilihat (audio visual), sedangkan dari yang dilihatnya hanya 30%, dari yang didengarnya hanya 20%, dan dari yang dibaca hanya 10%. Berdasarkan ini semua, maka kegiatan hands on dalam PBM harus tetap diutamakan.
Kadang kala PBM dihadapkan pada materi yang tidak dapat dilakukan secara hands on. Misalnya suatu percobaan membutuhkan waktu lama, sedangkan waktu PBM terbatas atau benda sebenarnya sulit untuk diperlihatkan dan dieksplorasi oleh siswa. Pada saat seperti inilah diperlukan alat bantu pengajaran, salah satunya adalah pembelajaran berbasis ICT (komputer multimedia). Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan, jika ingin menggunakan komputer multimedia dalam PBM adalah mengkaji karakteristik materi. Walaupun kegiatan yang bersifat hands on dapat digantikan dengan multimedia, tetapi hal ini tidak disarankan untuk digunakan. Sebaiknya multimedia digunakan hanya untuk pembelajaran yang tidak memungkinkan dilakukan secara hands on. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan materi yang akan disajikan ke dalam bentuk wacana multimedia.
C. Bagaimana Cara Mengolah Materi yang Disajikan dengan Berbasis ICT ?
Pengolahan materi yang akan disajikan dalam bentuk multimedia dapat mengikuti tahapan pengolahan materi subyek. Tahapan tersebut adalah seleksi I, strukturisasi, seleksi II, dan reduksi .
Tahap 1. Seleksi buku
Memilih sebuah buku yang akan menjadi acuan dengan pertimbangan isi materi, tingkat kesulitan, metodologi instruksional, dan integritas keilmuan penulis.
Tahap 2. Strukturisasi
Sturkturisasi diawali dengan membuat proposisi dari teks dasar.
Setelah menentukan proposisi utama, makro, dan mikro, langkah selanjutnya adalah mengalihkannya ke bentuk outline, sehingga didapatkan sebuah model representasi teks.
Tahap 3. Seleksi materi yang sesuai kebutuhan siswa
Tidak semua materi yang ada pada topik/materi diperlukan oleh siswa. Oleh karena itu dibutuhkan pemilihan kembali terhadap materi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Tahap 4. Reduksi
Reduksi pada materi yang akan diajarkan dilakukan dengan cara penyederhanakan bahasa, visualisasi, dan penggunaan teknik historis dalam pemaparannya.
Penyederhanaan bahasa dilakukan dengan mengabaikan hal-hal kurang relevan dengan kebutuhan siswa. Visualisasi dilakukan dengan memberikan gambar dari suatu proses yang terjadi. Akan lebih mudah dipahami jika disajikan dalam bentuk gambar (visual).
D. Bagaimana Cara Menyajikan Wacana Berbasis ICT?
Aneka program komputer (software) dapat digunakan untuk membuat wacana multimedia. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan software selain kemampuan atau penguasaan terhadap software, adalah spesifikasi perangkat keras (hardware) yang tersedia di sekolah. Pertimbangan spesifikasi hardware ini sangat penting, karena hanya dengan spesifikasi hardware yang mendukung, wacana multimedia yang telah dibuat dapat berjalan dengan baik. Jika ketersediaan hardware di sekolah edisi P166 ke bawah, maka tidak disarankan membuat wacana multimedia menggunakan Macromedia Flash, untuk kondisi hardware seperti itu penggunaan program Microsoft Power Point sudah cukup memadai. Program Microsoft Power Point menampilkan menu-menu yang berguna dalam pembuatan wacana multimedia yang bersifat tutorial. Menu-menu tersebut adalah menu animasi; menu untuk memasukan (import file) suara, video, dan gambar animasi; dan menu tautan (hyperlink) untuk menghubungkan antara satu simpul (node) atau file dengan simpul atau file lainnya. Menu-menu ini menjadikan program Microsoft Power Point tidak hanya berperan sebagai alat presentasi (tools) tetapi dapat dikembangkan menjadi tutor. Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam pembuatan wacana multimedia yang sifatnya tutorial adalah ketersediaan menu-menu yang dapat diakses dan adanya ikon tutorial yang akan membimbing pengguna wacana multimedia (user).
Sabtu, 09 April 2011
Pembelajaran Matematika Konvensional
Sebagaimana dikatakan oleh Philip R. Wallace tentang Pendekatan konservatif, pendekatan konvensional memandang bahwa proses pembelajaran yang dilakukan sebagaimana umumnya guru mengajarkan materi kepada siswanya. Guru mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima.
Menurut Philip R. Wallace (1992: 13) Pendekatan pembelajaran dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang konservatif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi murid-muridnya.
b. Perhatian kepada masing-masing individu atau minat siswa sangat kecil.
c. Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
d. Penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolok ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa diabaikan.
Menurut Ujang Sukandi (2003) mendeskripsikan bahwa Pendekatan konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di sini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-transfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Institute of Computer Technology (2006:10) menyebutnya dengan istilah “Pengajaran tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk:
a. Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
b. Menyampaikan informasi dengan cepat.
c. Membangkitkan minat akan informasi.
d. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut:
a. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
b. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari.
c. Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.
d. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat pribadi.
Proses pembelajaran dalam pendekatan konvensional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) lebih berpusat guru; (b) fokus pembelajaran lebih pada struktur dan format bahasanya (ilmu bahasa); (c) Guru berbicara, siswa mendengarkan; (d) para siswa melakukan kegiatan sendiri; (e) Guru selalu memonitor dan mengoreksi tiap-tiap ucapan siswa; (f) guru menjawab pertanyaan para siswa tentang (ilmu) bahasa; (g) guru yang menentukan topik atau tema pembelajaran; (h) guru menilai hasil belajar siswa; dan (i) kelas tenang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih banyak menggunakan ceramah dan demonstrasi, dan materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang cenderung tradisional atau konvensional berdasarkan uraian di atas adalah pendekatan ekspositori. Menurut Gerlach dan Ely (1980) bahwa pendekatan ekspositori merupakan pendekatan yang cenderung tradisional yaitu pengajar menyampaikan informasi kepada anak didik. Dalam kaitannya dengan ini, sumber-sumber informasi yang digunakan guru adalah buku teks, bahan-bahan lain sebagai referensi serta pengalaman guru. Adapun tenkin yang sering digunakan guru dalam pendekatan pembelajaran ini yaitu teknik ceramah, kadang-kadang diskusi, penampilan gambar-gambar dan mendengarkan tanggapan guru. Hudojo (2005) berpendapat bahwa pembelajaran ekpositori secara umum, definisi dan rumus diberikan dan dikerjakan oleh guru. Guru memerintahkan, apa yang harus dikerjakan dan bagaimana menyimpulkan. Contoh-contoh soal diberikan, kemudian diberi latihan soal. Pola pengerjaan guru diikuti secara teliti oleh siswa. Siswa hanya sekedar menirukan cara penyelesaian yang dikerjakan guru. Kemudian guru memberikan waktu sedikit kepada siswa untuk tanya jawab mengenai penyelesaian masalah yang dikerjakan oleh guru. Sanjaya (2008) menyatakan beberapa langkah-langkah dalam penerapan pembelajaran ekspositori adalah persiapan, penyajian, menghubungkan, menyimpulkan dan penerapan.
Menurut Philip R. Wallace (1992: 13) Pendekatan pembelajaran dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang konservatif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi murid-muridnya.
b. Perhatian kepada masing-masing individu atau minat siswa sangat kecil.
c. Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
d. Penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolok ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa diabaikan.
Menurut Ujang Sukandi (2003) mendeskripsikan bahwa Pendekatan konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di sini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-transfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Institute of Computer Technology (2006:10) menyebutnya dengan istilah “Pengajaran tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk:
a. Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
b. Menyampaikan informasi dengan cepat.
c. Membangkitkan minat akan informasi.
d. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut:
a. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
b. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari.
c. Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.
d. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat pribadi.
Proses pembelajaran dalam pendekatan konvensional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) lebih berpusat guru; (b) fokus pembelajaran lebih pada struktur dan format bahasanya (ilmu bahasa); (c) Guru berbicara, siswa mendengarkan; (d) para siswa melakukan kegiatan sendiri; (e) Guru selalu memonitor dan mengoreksi tiap-tiap ucapan siswa; (f) guru menjawab pertanyaan para siswa tentang (ilmu) bahasa; (g) guru yang menentukan topik atau tema pembelajaran; (h) guru menilai hasil belajar siswa; dan (i) kelas tenang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih banyak menggunakan ceramah dan demonstrasi, dan materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang cenderung tradisional atau konvensional berdasarkan uraian di atas adalah pendekatan ekspositori. Menurut Gerlach dan Ely (1980) bahwa pendekatan ekspositori merupakan pendekatan yang cenderung tradisional yaitu pengajar menyampaikan informasi kepada anak didik. Dalam kaitannya dengan ini, sumber-sumber informasi yang digunakan guru adalah buku teks, bahan-bahan lain sebagai referensi serta pengalaman guru. Adapun tenkin yang sering digunakan guru dalam pendekatan pembelajaran ini yaitu teknik ceramah, kadang-kadang diskusi, penampilan gambar-gambar dan mendengarkan tanggapan guru. Hudojo (2005) berpendapat bahwa pembelajaran ekpositori secara umum, definisi dan rumus diberikan dan dikerjakan oleh guru. Guru memerintahkan, apa yang harus dikerjakan dan bagaimana menyimpulkan. Contoh-contoh soal diberikan, kemudian diberi latihan soal. Pola pengerjaan guru diikuti secara teliti oleh siswa. Siswa hanya sekedar menirukan cara penyelesaian yang dikerjakan guru. Kemudian guru memberikan waktu sedikit kepada siswa untuk tanya jawab mengenai penyelesaian masalah yang dikerjakan oleh guru. Sanjaya (2008) menyatakan beberapa langkah-langkah dalam penerapan pembelajaran ekspositori adalah persiapan, penyajian, menghubungkan, menyimpulkan dan penerapan.
Selasa, 05 April 2011
Locus of control
Locus of control
Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran sosial. Menurut Rotter (dalam Jung, 1978) mengatakan bahwa pada dasarnya konsep locus of control menunjukkan pada keyakinan atau harapan-harapan individu mengenai sumber penyebab dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, yaitu kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya dikendalikan oleh kekuatan dari dalam dirinya (internal) atau dari luar dirinya (eksternal). Pendapat ini diperkuat oleh Petri (1980) yang mengatakan bahwa locus of control merupakan konsep yang secara khusus berhubungan dengan harapan individu mengenai kemampuannya untuk mengendalikan penguat yang menyertai pelaku. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian, yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib dirinya. Elly Herliani (2009:47) menyatakan bahwa orientasi locus of control pada satu individu merupakan satu bentuk respon awal yang menjadi dasar dari respon selanjutnya yang merupakan rangkaian kinerja aktifitas individu dalam upaya mencapai suatu tujuan dirinya.
Rotter (Penner dalam Herliani, 2009) berpandangan tentang adanya perilaku yang berupa respon individu terhadap lingkungannya. Jika respon tersebut menguntungkan maka individu mengulang perilaku respon tersebut. Dari hal ini Rotter menyimpulkan bahwa kemungkinan perilaku yang muncul pada seseorang didorong oleh dua faktor, sebagai berikut:
a. Harapan Diri (Personal Expectancy), berupa persepsi individu bahwa satu perilaku menghasilkan keuntungan.
b. Nilai dari keuntungan, yaitu jika individu berharap bahwa perilakunya menghasilkan keuntungan yang berharga baginya, maka perilaku tersebut akan hilang.
Pada faktor yang pertama, yaitu harapan diri, terdapat dua variabel penentunya, yaitu keadaan lingkungan dan dirinya sendiri yang merupakan penyebab tercapainya tujuan. Artinya harapan diri ini berhubungan dengan masalah keyakinan perseptual individu bahwa sesuatu itu dikendalikan oleh dirinya atau oleh faktor di luar dirinya. Jadi pada dasarnya locus of control adalah masalah pikiran atau persepsi individu tentang siapa atau apa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada individu tersebut (Calhoun & Acocella dalam Herliani, 2009).
Locus of control terdiri atas orientasi internal dan orientasi eksternal (Penner dalam Herliani, 2009). Individu yang lebih memiliki orientasi internal merupakan individu yang merespon suatu kejadian yang dihadapi sebagai hal yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, sedang individu dengan orientasi eksternal merespon suatu kejadian yang dihadapi sebagai hal yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar dirinya baik yang berupa keadaan lingkungan (seperti nasib, keberuntungan, kesempatan) maupun kekuasaan orang lain. Bar-tal, Bar-zohar dan Chen (dalam Panjaitan, 1999) menyatakan bahwa siswa yang memiliki locus of control internal cenderung mempunyai sifat yang lebih aktif dalam mencari, mengolah dan memanfaatkan berbagai informasi, serta memiliki keinginan mencapai prestasi yang lebih tinggi. Siswa yang memiliki locus of control internal memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, memiliki kemauan bekerja keras dan memiliki kekhawatiran akan gagal. Sedang menurut (Herliani, 2009:49) individu dengan kecendrungan orientasi eksternal memiliki karakter yang pasif, hal ini dikarenakan sikap mereka dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh situasi atau orang yang berkuasa dan adanya masalah peluang keberuntungan atau nasib. Mereka menganggap kegagalan berasal dari faktor di luar dirinya.
Menurut Crider dalam Primanda (2008:21) perbedaan karateristik antara internal locus of control dengan external locus of control sebagai berikut :
1. Locus of control internal
a. Suka bekerja keras.
b. Memiliki inisiatif yang tinggi.
c. Selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah.
d. Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin.
e. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil.
2. Locus of control eksternal
a. Kurang memiliki inisiatif.
b. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan.
c. Kurang suka berusaha, karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol.
d. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah.
Pada orang-orang yang memiliki internal locus of control faktor kemampuan dan usaha terlihat dominan, oleh karena itu apabila individu dengan internal locus of control mengalami kagagalan mereka akan menyalahkan dirinya sendiri karena kurangnya usaha yang dilakukan. Begitu pula dengan keberhasilan, mereka akan merasa bangga atas hasil usahanya. Hal ini akan membawa pengaruh untuk tindakan selanjutnya di masa akan datang bahwa mereka akan mencapai keberhasilan apabila berusaha keras dengan segala kemampuannya. Sebaliknya pada orang yang memiliki locus of control eksternal melihat keberhasilan dan kegagalan dari faktor kesukaran dan nasib, oleh karena itu apabila mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi penyebabnya. Hal itu tentunya berpengaruh terhadap tindakan dimasa datang, karena merasa tidak mampu dan kurang usahanya maka mereka tidak mempunyai harapan untuk memperbaiki kegagalan tersebut.
Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinium dari internal menuju eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar eksternal. Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Disamping itu locus of control tidak bersifat stastis tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus of control dapat berubah menjadi individu yang berorientasi eksternal locus of control dan begitu sebaliknya, hal tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan sering melakukan aktifitasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)